Ironi Kepemimpinan

Saya ingin menanyakan 1 pertanyaan ini kepada Anda:

Siapa pemimpin-pemimpin hebat yang Anda kenal atau tahu?

Saya cukup yakin bahwa sebagian besar, atau bahkan semua dari kita, paling tidak akan menjawab salah satu dari nama-nama berikut ini:

  • Bill Gates (pendiri Microsoft dan Gates Foundation)
  • Warren Buffett (salah satu orang terkaya di dunia)
  • Steve Jobs (almarhum, pendiri Apple)
  • Joko Widodo, atau Jokowi (saat ini, Presiden Republik Indonesia)
  • Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok (mantan Gubernur DKI Jakarta)
  • Ridwan Kamil (saat ini, Gubernur Jawa Barat)

Image result for ridwan kamil

  • Barack Obama (mantan Presiden Amerika Serikat)
  • Nelson Mandela (mantan Presiden Afrika Selatan)
  • Bunda Teresa (melakukan pelayanan terakhirnya di Kalkuta, India, melayani orang-orang terpinggirkan)Image result for steve jobs
  • Jeff Bezos (pendiri Amazon)
  • Jack Ma (pendiri Alibaba)
  • Abraham Lincoln (mantan Presiden Amerika Serikat)
  • Martin Luther King, Jr. (pejuang hak-hak kesetaraan orang kulit hitam, civil rights di Amerika Serikat)
  • Nabi Muhammad SAW (nabi dan rasul terakhir bagi umat beragama Islam, menyebarkan ajaran agama Islam untuk seluruh umat manusia)
  • Nabi Musa (pemimpin bangsa Israel, memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir)
  • Paus Francis (pemimpin Gereja Katolik di kota Vatikan).
  • Yesus Kristus (figur kunci dari kekristenan, atau agama Kristen)
  • Mahatma Gandhi (pemimpin di India, memperjuangkan kemerdekaan India dengan cara

Image result for martin luther king jr

Saya tahu masih ada banyak nama yang bisa ditambahkan ke daftar tersebut. Ini hanya sebagian kecil saja yang menurut saya cukup dikenal oleh kebanyakan orang saat ini. Namun, ada hal menarik yang juga merupakan hal yang ironis. Bukankah orang tua dari tokoh-tokoh ini adalah pemimpin yang juga hebat? Kalau tidak, bagaimana mungkin mereka menjadi pribadi-pribadi dan pemimpin-pemimpin hebat?

Seringkali kita melupakan peran orang tua dalam mendidik anak sejak dini hingga kita mandiri. Menariknya, kepemimpinan paling pertama diajarkan dan dilatih oleh orang tua kita sendiri. Simon Sinek, seorang penulis dan pembicara, mengatakan bahwa menjadi pemimpin sama seperti menjadi orang tua. Kita berlelah-lelah, mengorbankan diri kita dalam rangka untuk menumbuhkan dan melihat anak kita sukses dan mencapai yang terbaik yang bisa mereka capai, tanpa berharap apapun sebagai imbalannya. Di saat keadaan sulit, orang tua rela mengorbankan dirinya untuk melindungi anaknya.

Menjadi pemimpin sejati, sama saja seperti menjadi orang tua sesungguhnya. Ironis bukan? Pelajaran kepemimpinan bukan melalui seminar dan pelatihan-pelatihan dari orang-orang terkenal dan hebat, tetapi bisa melalui orang terdekat kita, orang tua kita.

Selamat merenungkan!

Rangkul sang “naysayer”

Apa itu “naysayer”? Naysayer adalah istilah bagi mereka yang pesimis dan seringkali menolak gagasan-gagasan secara negatif. Lebih parah, mereka mengkritik tapi tidak memberikan saran atau solusi.

Image result for embrace the naysayers

Bertemu orang seperti ini pasti sangat menjengkelkan. Apapun ide yang kita berikan pasti ditolak, seolah tidak ada yang baik. Entah itu dari raut wajah, kata-kata, bahkan konfrontasi langsung, mereka cenderung pesimis.

Lalu, haruskah kita menyingkirkan atau meninggalkan mereka?

 

 

Tunggu dulu! Cobalah berempati, dan lihat dari sudut pandang mereka. Put yourself in their shoes. Karena bisa saja mereka benar, walau mungkin terlalu negatif.

Dalam berbagai riset dan teori tentang bagaimana membawa perubahan (khususnya di sekolah, menurut Michael Fullan), sangat penting bagi sang pemimpin untuk merangkul orang-orang ini, karena mereka bisa memberikan perspektif yang berbeda dari cara pandang kita atau sebagian besar orang.

Practice empathy, eEmbrace the naysayers!

Step up!

“Kepala sekolah ini tidak meyakinkan! Tidak dapat dipercaya! Rapat kita tidak tepat waktu. Dia sendiri pun tidak dapat menjadi teladan yang baik. Dia tidak membuat guru-guru semakin menjadi lebih baik. Mungkin dia tidak buruk, tapi tidak juga baik!”

Pernah merasakan atau mendengar hal serupa? Hal ini sangat wajar, seperti yang pernah saya sampaikan sebelumnya. Sebagian besar kita tidak dilatih untuk menjadi pemimpin yang baik. Namun, dalam kondisi seperti ini, lalu bagaimana?

Image result for step up be the leaderStep up! Bangkitlah dan kontrol apa yang bisa kita kontrol, yaitu diri kita. Jadilah pemimpin yang kita harapkan, baik itu bagi diri kita sendiri maupun bagi orang-orang di sekitar kita. Ketika ada rekan yang membutuhkan pertolongan, bantulah mereka tanpa pamrih. Ambil inisiatif untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mau dikerjakan orang lain.

Sulit? Tentu!

Tidak ada imbalan? Wajar!

Itulah mengapa menjadi pemimpin itu sulit. Acapkali, tidak ada yang peduli pada kita. Jalan kepemimpinan adalah jalan yang sepi, sendirian. Tetapi bermakna untuk jangka panjang. Seperti apa yang dikatakan Simon Sinek, “Jadilah pemimpin yang kita harapkan kita miliki.”

Image result for be the leader we wish we had

Kepemimpinan perlu latihan

Pernahkah kita berpikir, apa yang dilakukan para pemimpin-pemimpin besar yang ada di dunia sehingga mereka bisa menjadi pemimpin yang hebat?

Sederhana saja, mereka berlatih. Mereka melatih diri mereka sedini mungkin (atau tentunya dilatih atau diajarkan oleh orang tua atau sekolah) untuk menjadi pemimpin hebat.

Mungkin hal ini yang paling sering kita kurang hargai. Di perusahaan atau sekolah, kita meminta setiap orang untuk bangkit dan menjadi pemimpin, tetapi kita tidak pernah mengajarkannya. Kita berharap orang bertumbuh tapi tidak menolong. Betapa buruknya kita sebagai pemimpin!

Bagaimana caranya berlatih kepemimpinan? Ingat bahwa kepemimpinan itu ada di setiap hari dalam hidup kita. Mulai dari hal-hal sederhana seperti membantu orang tua, saudara, atau teman, membereskan mainan dan tempat tidur sendiri, kebiasaan berkata maaf, tolong, dan terima kasih, membukakan pintu bagi orang lain, menahan pintu elevator ketika ada orang mau masuk, dan masih ada banyak hal lainnya. Kepemimpinan itu dilatih setiap hari melalui berbagai aktivitas kecil maupun besar.

Karena begitu sulitnya kepemimpinan, maka harus dilatih setiap hari. Setiap hari.

Don’t’ take it for granted!

Anak usia dini: calon pemimpin masa depan

Pernahkah kita mendengar kalimat berikut?

“Anak muda adalah calon pemimpin di masa depan!”

Saya yakin kita semua pernah mendengarnya. Sayangnya, orang-orang yang mengatakan itu belum tentu memberi kesempatan dan mendidik anak muda untuk bertumbuh menjadi pemimpin yang efektif. Seolah, mereka berkata, “Kalianlah pemimpin masa depan. Tapi mohon maaf, kami adalah pemimpin saat ini!” Dengan demikian, para senior ini menunjukkan bahwa dirinya bukanlah pemimpin sesungguhnya. Mereka tidak cukup punya kemauan untuk menolong kaum muda untuk bertumbuh menjadi pemimpin, padahal kita tahu bahwa untuk menjadi pemimpin dibutuhkan pendampingan dan kesempatan.

Sejak kapan kita harus berlatih menjadi pemimpin? Sejak anak usia dini! Dimulai dari seorang anak dilahirkan di dunia, anak tersebut sudah harus dilatih untuk menjadi pemimpin yang efektif.

Entah itu melalui pendidikan di keluarga, atau di kelompok bermain (preschool), taman kanak-kanak (kindergarten), sekolah formal jenjang SD, SMP, SMA, masyarakat, institusi pendidikan tinggi, terlebih lagi di masyarakat.

Image result for the first five years have so much to do with how the next 80 turnout

Show up to give

Bayangkan hal berikut:

Anda berhasil memenangkan suatu penghargaan, sesuai bidang usaha atau pekerjaan Anda masing-masing. Jika Anda seorang mahasiswa, Anda memperoleh cum-laude atau menjadi ketua senat yang berhasil. Jika Anda seorang karyawan, mungkin Anda menjadi karyawan teladan. Lalu, diadakan upacara khusus dan Anda diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidato.

Apa yang akan Anda sampaikan?

Bayangkan jika ketika Anda berpidato, kata-kata yang Anda utarakan seperti ini:

“Terima kasih untuk penghargaan ini. Saya tahu bahwa saya memang pantas mendapatkannya, karena usaha keras saya selama ini. Saya telah mengorbankan segala hal demi berhasil memperoleh penghargaan ini. Walau ada rekan, teman, dan keluarga yang memberikan dukungannya pada saya, saya tahu betul bahwa saya yang menentukan semuanya.”

Menjengkelkan membacanya bukan?

Sebagai pribadi yang berjuang untuk menjadi pemimpin manusia yang lebih baik, satu hal amat penting adalah sikap hati. Hati adalah pelita tubuh. Jika hati kita ada di tempat yang tepat, apa yang kita lakukan pun juga akan tepat. Itulah yang juga menjadi judul tulisan ini, “Show up to give”. Dalam melakukan segala hal, hadir dan lakukanlah dengan hati untuk memberi, bukan untuk mendapatkan.

Ketika kita berpidato atau menjadi pembicara, misalnya, bukan untuk mendapatkan tepuk tangan dan pujian. Kita membentuk usaha/bisnis tertentu bukan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, tetapi untuk memberi nilai dan dampak positif bagi sekitar.

 

 

 

Jadi, kalau ditanya kembali, apa yang akan Anda sampaikan di pidato kesuksesan Anda?

 

Kepemimpinan itu seni

Suatu hari, sepasang orang tua dari murid datang kepada Anda, yang merupakan kepala sekolah. Mereka mengeluhkan kinerja guru yang mengajar anak mereka, dan mereka mengkritik keras Anda karena dianggap tidak mampu menjadi kepala sekolah yang baik.

Apa yang Anda pikirkan, rasakan, dan lakukan kemudian?

Jika ada 10 orang yang berada di posisi yang sama, akan ada juga 10 tipe respon (bahkan lebih) yang bisa diberikan. Wow, kenapa bisa begitu ya? Tentu saja, karena kepemimpinan adalah seni.

Apa itu seni?

Seni adalah segala bentuk eskpresi dari kreativitas dan imajinasi seseorang. Biasanya berbentuk visual, seperti lukisan. Namun, bisa juga dalam bentuk gerakan atau musik. Lalu, apa hubungannya dengan kepemimpinan?

Kepemimpinan juga merupakan ekspresi dari kreativitas dan imajinasi seseorang (pemimpin) yang dapat dirasakan orang lain. Bedanya, bentuknya tidak dapat disentuh atau benar-benar dilihat. Bentuk kepemimpinan berupa perilaku yang dampaknya bisa dirasakan dan menyentuh hati.

Seperti layaknya seni yang subyektif bergantung pada imajinasi dan kreativitas sang seniman, kepemimpinan juga subyektif dan bergantung pada imajinasi dan kreativitas sang pemimpin. Gaya kepemimpinan setiap orang berbeda-beda, dan apa yang harus kita lakukan pada saat tertentu. Mari kita kembali ke contoh kasus di awal tadi. Berikut beberapa opsi yang dapat kita lakukan:

  • Berbicara dengan orang tua tersebut dan berusaha meredakan emosi sambil berempati, atau
  • Kemudian menegur sang guru di depan orang tua tersebut, atau
  • Memanggil sang guru untuk berbicara empat mata dan mengevaluasi kinerjanya dengan kritikan keras, atau
  • Berempati dan mencari tahu kebutuhan guru tersebut dan kemudian menjadi mentor dan memberikan pendampingan personal.

Saya percaya, masih ada banyak opsi yang dapat dilakukan. Bukankah ini semakin menegaskan bahwa kepemimpinan itu seni, sama seperti mendidik juga adalah seni.

Jadi, jika Anda adalah kepala sekolahnya, apa yang Anda lakukan?

Relasi itu fondasi

Bagaimana relasi kita dengan orang tua kita? Baik? Harmonis? Sangat akrab? Apakah kita merasa terinspirasi dan disayang oleh orang tua kita? Apakah kita banyak belajar dari mereka?

Sebaliknya, apakah kita merasakan atau tahu pengalaman teman yang tidak memiliki relasi yang baik dengan orang tuanya? Apa yang dialami? Apakah merasa disayang dan terinspirasi oleh orang tuanya?

Image result for relationship is important for educationRelasi yang kurang baik menyebabkan pendidikan tidak berjalan secara optimal dan berkualitas tinggi. Oleh karena itu, relasi itu fondasi. Tanpa fondasi yang kuat, bangunan tidak dapat berdiri kokoh. Demikian juga kepemimpinan dan pendidikan tidak dapat berjalan optimal dan berkualitas jika tidak ada relasi yang positif di antara mereka yang menjalani pendidikan. Relasi antara guru dan murid, kepala sekolah dengan guru, guru dengan rekan guru lainnya, kepala suatu sekolah dengan kepala sekolah lainnya, dan seterusnya.

Jadi, yuk mari kita berelasi positif!