Ajak kami!

Pak Adi adalah seorang kepala sekolah sebuah sekolah swasta di Jakarta. Ia dikenal sebagai pemimpin yang dapat dipercaya dan hebat. Ia sangat mandiri dan kinerjanya pun sangat baik. Semua hal dapat ia kerjakan sendiri. Keputusan-keputusan penting dapat ia buat dengan percaya diri, dan hasilnya pun baik.

Sayangnya… para wakil kepala sekolah, guru, dan staf yang menjadi bawahannya, walau menghormati Pak Adi, sebenarnya tidak terlalu suka bekerja dipimpin oleh Pak Adi.

Apakah kita pernah berada di posisi sebagai bawahan Pak Adi? Jika ya, apa Anda merasakan hal serupa, atau senang dan menikmati pekerjaan?

Saya rasa ada banyak hal yang dapat memengaruhi perasaan senang seseorang di tempat bekerja. Memang, studi kasus ini tidak dapat dilihat dari satu perspektif saja, karena jadi tidak adil tentunya. Namun, saya ingin menyoroti dari kaca mata model kepemimpinan, tanpa memandang konteks atau hal lainnya (kalau iya, bisa jadi 1 paper penelitian tersendiri).

Menurut Anda, apa yang bisa membuat para bawahannya tidak terlalu menikmati bekerja dipimpin oleh Pak Adi, padahal Pak Adi nampak begitu sempurna sebagai kepala sekolah?

Tentunya bisa jadi ada faktor-faktor yang kita tidak ketahui. Namun, dari kaca mata model kepemimpinan, walaupun kinerjanya sangat baik, sangat mungkin bahwa para bawahannya tidak terlalu nyaman dengan kondisi di mana sang pimpinan “terlalu” independen dan hebat, sehingga terasa tidak atau kurang membutuhkan pertolongan dan kontribusi bawahannya.

Di tempat bekerja, atau di komunitas apapun, setiap manusia memiliki 2 kecenderungan:

  1. Ingin terlibat untuk bekerja mewujudkan mimpi atau visi (lebih ke aspek invididu)
  2. Ingin dihargai sebagai manusia dan mempunyai komunitas yang membangun (lebih ke aspek sosial)

Apa yang dilakukan Pak Adi tentunya sangat baik. Tetapi, seberapa jauh para bawahannya dilibatkan? Kalau tidak pernah dilibatkan, bisa saja Pak Adi ini dianggap pemimpin yang otokratis dan ingin mempunyai kuasa yang mutlak, walaupun untungnya kinerjanya baik dan tetap bisa diandalkan.

Apa rasanya kalau kita tidak dilibatkan? Lambat laun, kita bisa merasa bahwa kita tidak dibutuhkan. Kalau kita merasa bahwa kita tidak dibutuhkan, kita bisa merasa bahwa tidak ada artinya kita bekerja di tempat kerja kita.

Seorang pemimpin yang baik, terutama di masa kini, perlu untuk lebih melibatkan orang lain dan menjadi lebih demokratis. Terutama, di organisasi yang sudah cukup mapan, gaya ini akan sangat membantu untuk memajukan organisasi. Di mana sang pemimpin tidak ahli dalam segala hal, ia dapat melibatkan para ahli di bidangnya dan memimpin mereka untuk membangun organisasi dengan lebih baik lagi. Dampak positifnya, para bawahan lebih menikmati bekerja dan merasa menjadi bagian dari tempat kerja mereka. Mereka bisa merasa puas (fulfilled) dan lebih percaya dan loyal terhadap organisasi dan pemimpin.

Sebagai penutup, kembali saya ingin menanyakan beberapa hal: apakah model kepemimpinan yang demikian cocok untuk organisasi yang berada dalam kondisi kritis? Apakah berlaku efektif untuk berbagai tipe konteks organisasi? Apakah tempat kita bekerja cukup melibatkan orang lain untuk berkontribusi dan bertumbuh? Apakah model ini merupakan yang terbaik?