Suatu hari, seorang anak bernama Adi pulang ke rumah dengan perasaan senang karena mendapatkan nilai 90 untuk ulangan matematikanya. Dengan bangganya, ia menunjukkannya kepada kedua orang tuanya. Ketika ia berjumpa ibunya, ibunya memujinya, “Hebat sekali kamu, Di! Terus semangat belajar ya dan pertahankan!” Ketika ayahnya pulang kerja, kembali Adi menunjukkan hasil ulangannya kepada sang ayah. Namun, bukannya senang, sang ayah marah dan berkata, “Hmm.. Dapat 90? Apa yang kamu banggakan? Dapat 100 baru anak ayah.”
Berapa banyak dari kita yang mengalami atau menemukan cerita serupa?
Sebagian dari kita tumbuh dengan didikan tidak boleh salah atau harus selalu benar dan sempurna. Padahal, seseorang belajar dari kesalahan dan kegagalannya.
Saya rasa, kita sudah dapat menebak seperti apa jadinya Adi dalam kisah singkat di atas. Perfeksionis? Kurang menghargai usaha orang lain? Selalu ingin mencapai kesempurnaan? Tuliskan saja daftarnya.
Saya percaya, pemimpin yang baik (sama seperti orang tua yang baik), mengizinkan mereka yang dipimpinnya (anaknya) untuk berbuat kesalahan. Ada ruang untuk berkreasi dan menunjukkan diri mereka, walaupun mungkin tidak selalu sesuai dengan harapan kita sebagai pimpinan.
Tanpa kesalahan, tidak ada perbaikan. Tanpa kesalahan, tidak ada kemajuan juga. Berbuat kesalahan menjadi bukti bahwa kita pernah mencoba. Lucunya, semua orang sukses di dunia pernah membuat kesalahan besar dan kegagalan dalam hidupnya.
Menurut saya, berbuat kesalahan boleh saja, asal jangan sampai menghilangkan nyawa atau terlalu merugikan orang lain dan diri sendiri. Namun, hal terpenting dibaliknya adalah untuk tidak menyerah dan terus berusaha menghargai dan memperbaiki diri. Salah adalah hal biasa yang bisa dilakukan setiap orang.
Sudahkah kita berbuat salah hari ini.. merefleksikan maknanya dan bangkit untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi?