Teman saya, seorang guru TK, suatu hari bercerita kepada saya mengenai pengalamannya di sekolah. Suatu kali, ia melakukan kesalahan fatal dengan tidak memerhatikan anaknya yang berkebutuhan khusus (ABK). Ia bertanggungjawab atas anak ini, namun pada suatu perayaan ulang tahun anak yang lain, mungkin karena ramai dan riwehnya acara tersebut, teman saya ini kehilangan anak ABK ini. Tiba-tiba, anak itu sudah tak ada di ruangan. Tentunya teman saya ini sangat panik dan berusaha mencari ke mana-mana.
Singkat cerita, ia berhasil menemukan anak ini terkunci di suatu ruangan di lantai 2 sekolahnya. Ia dipanggil oleh kepala sekolahnya, bersama dengan koordinator guru (lead teacher) jenjang yang ia ajar, dan diberikan teguran. Menurut cerita teman saya ini, kepala sekolahnya mengatakan bahwa ini adalah kesalahan fatal dan sang kepala sekolah cukup tegas dalam mengatakannya. Namun, setelah pertemuan itu, sang kepala sekolah menenangkannya dengan mengatakan tidak apa-apa walau itu kesalahan fatal. Orang tua sudah diberikan penjelasan juga, dan sudah tidak masalah. Hanya saja, teman saya ini diingatkan untuk tidak mengulanginya dan bisa lebih awas di kemudian hari. Setelah pertemuan itu, semua berjalan biasa saja seolah tidak terjadi kesalahan apapun yang dilakukan teman saya ini.
Di tulisan ini, mungkin tidak terasa nampak (mungkin saya kurang jago cerita). Tetapi, saya pribadi terkagum dengan kepala sekolah ini. Di satu sisi, ia menegur dengan tegas dan menyatakan kesalahan stafnya. Di sisi lain, ia juga mau merangkul stafnya dan memperlakukannya seolah tidak terjadi apa-apa.
Bagi saya sendiri, hal ini tidak mudah dilakukan. Kita bisa berada di ekstrim salah satu, entah kita terlalu baik dan lunak, atau kita terlalu keras dan tegas. Mengombinasikan keduanya menjadi seni tersendiri dan membutuhkan pengalaman dan keahlian.
Sebagai pimpinan dan pemimpin, saya pikir tidak masalah untuk menyatakan kesalahan. Toh, kita memang bisa saja berbuat salah. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita melakukannya dan apa yang kita lakukan setelahnya. Banyak pimpinan yang berhenti pada titik menyatakan kesalahan, tetapi tidak mau tahu perasaan mereka yang kita tegur.
Dibutuhkan adanya rekonsiliasi dan pendampingan ekstra untuk memastikan bahwa mereka yang kita tegur memahami dan menerima keadaannya, sambil juga mau untuk memperbaikinya. Relasi yang ada antara kita dengan mereka juga harus kita jaga. Tentunya, kita menegur dalam rangka untuk kebaikan, bukan untuk menjatuhkan.
Hal ini yang menurut saya tidak mudah untuk dilakukan. Namun, pertanyaannya, maukah kita belajar melakukannya?