Dalam membuat keputusan, mana yang lebih kita andalkan: rasio/logika atau perasaan/intuisi?
Keduanya jelas adalah faktor penting dan menentukan ketika kita mengambil keputusan. Manusia tidak sepenuhnya membuat keputusan dengan hanya mengandalkan rasio dan logika, atau sebaliknya hanya dengan perasaan dan intuisi. Jika demikian, tidak komplit jadinya. Khususnya, dalam sebuah tim, kerja sama keduanya akan sangat berharga.
Saya tumbuh sebagai seorang penyuka pelajaran matematika dan statistik. Saya berkuliah matematika dan menikmati analisis dan penggunaan logika, rasio, dan data untuk membuat keputusan. Selama bertahun-tahun, saya belajar lebih menggunakan rasio untuk mengambil keputusan. Namun, di sisi lain, saya baru menyadari belakangan ini bahwa saya “juga” termasuk tipe yang intuitif (dalam tes psikologi seperti tes MBTI). Saya menggunakan kata “juga” karena ternyata berdasarkan tes di tahun lalu, nilai aspek “Intuition vs Thinking” adalah 53% berbanding 47%.
Hal ini bagi saya menarik, karena saya baru menyadarinya. Ketika saya merefleksikan perjalanan hidup saya, saya pun baru menyadari bahwa saya lebih cenderung menggunakan intuisi daripada rasio ketika mengambil keputusan, khususnya keputusan besar. Ketika saya berusaha menggunakan rasio, saya berkutat terlalu lama untuk mencari dan menganalisa berbagai data, yang pada akhirnya memusingkan saya dan membuat pengambilan keputusan berjalan lebih lama.
Data dan rasio berperan penting dan memudahkan saya pribadi dalam pengambilan keputusan, pada beberapa situatsi. Namun, ketika saya perlu membuat keputusan untuk jangka panjang tanpa data yang lengkap, saya cenderung melakukannya dengan menggunakan intuisi saya.
Secara khusus, saya menemukan hal menarik lain. Setelah saya berdiskusi dengan dosen saya, Dr. Ashley Ng, dan membaca buku Simon Sinek, Start with WHY, saya menemukan bahwa banyak orang cenderung membuat keputusan penting dengan intuisi, atau apa yang orang bilang gut feeling atau gut decision. Kesulitannya, gut feeling atau gut decision ini seringkali sulit dijelaskan, apalagi dengan data. Hanya saja, kita bisa merasa itu adalah keputusan yang tepat, dan memang ternyata tepat setelah berjalannya waktu kita dapat melihat hasilnya.
Menurut neurosains, otak manusia yang berkaitan dengan pengambilan keputusan adalah otak limbik, bagian otak manusia yang berkaitan dengan perasaan atau emosi dan perilaku manusia, khususnya dalam kaitannya dengan kebertahanan hidup atau survival (https://qbi.uq.edu.au/brain/brain-anatomy/limbic-system). Bagian otak ini tidak berkaitan dengan berpikir dan bahasa, yang merupakan tanggung jawab dari otak neokorteks. Jadi, bisa dibilang bahwa ketika kita berpikir dan menganalisa, itu tanggung jawab neokorteks, sedangkan ketika kita menggunakan intuisi dan perasaan, itu tanggung jawab otak limbik.
Jika kita memelajari hal ini lebih jauh, menjadi masuk akal mengapa banyak kasus di mana saya (dan mungkin juga kita semua) cenderung mengambil keputusan dengan intuisi, bukan dengan data dan berpikir logis. Lucunya, seringkali ini menjadi langkah yang tepat dan memang kita pun merasa tepat (“feels” right), dan sulit bagi kita untuk jelaskan. Wajar karena otak yang bertanggungjawab untuk pengambilan keputusan (limbik) tidak bertanggungjawab atas bahasa (neokorteks).
Saya menemukan betapa menariknya hal ini, dan sebagai pemimpin ataupun pribadi, ini menjadi hal penting. Ada kalanya kita diperhadapkan situasi di mana kita perlu mengambil keputusan penting: beli rumah, mempunyai anak, sekolah, studi lanjut, dan lainnya. Penting bagi kita untuk melihat data, tetapi juga memercayai intuisi kita yang mungkin seringkali mengarahkan kita pada langkah yang tepat.
Ini pengalaman saya. Bagaimana pengalaman Anda?