Sulitnya hidup

Suatu kali, murid saya bertanya, “Kenapa hidup ini begitu sulit? Kenapa sekolah susah? Saya stress dan cape.”

Rasanya, di masa kini, omongan semacam ini menjadi semakin sering terdengar. Paling tidak, bagi saya sendiri sebagai guru. Saya pun merasa bahwa hidup anak-anak zaman sekarang lebih sulit dan membuat stress daripada hidup saya dulu.

Tentunya, ini membuat gundah, karena saya merasa kasihan bahwa di masa sekolah, anak-anak saat ini sudah bergumul dengan kesehatan mental mereka. Banyaknya tugas, tekanan dari orang tua, guru, dan lingkungan, tuntutan untuk hasil semaksimal mungkin, dunia yang konstan dan cepat berubah dan menuntut mereka untuk cepat sukses, dan lainnya.

Kesehatan mental memang penting, dan karena itu membentuk sistem yang lebih seimbang dalam pendidikan dan hidup bermasyarakat tentunya menyenangkan. Sialnya, begitu sulit mengubahnya. Akhirnya, kesulitan dalam hidup menjadi tak terhindarkan.

Saya ingin mengajak kita untuk melihat kesulitan hidup melalui kaca mata yang berbeda.

Coba kita pikirkan hal ini: kalau hidup kita mudah, apakah kita akan berkembang? Kalau hidup kita mudah, apakah hidup kita seperti saat ini?

Image result for difficulties in lifeTerhadap pertanyaan murid saya tersebut, saya membalasnya, “Ketika kita membuat suatu paper, mengapa kita memilih topik yang cukup sulit dan kompleks? Dalam kaca mata sekolah, nilainya tidak akan tinggi. Mengapa tidak tinggi? Karena tidak banyak yang bisa dinilai sebetulnya, karena juga murid tidak dapat menunjukkan banyak kemampuannya. Sama seperti dalam hidup. Ketika hidup kita mudah, apa yang bisa kita tunjukkan? Dengan sulitnya hidup, justru kita mendapatkan kesempatan menunjukkan bahwa kita adalah permata yang indah. Hidup yang sulit menjadi kesempatan kita menunjukkan siapa diri kita dan kemampuan kita. Hidup yang mudah tidak bisa banyak memberi kesempatan kepada kita untuk menunjukkan kapabilitas kita.”

Bagaimana dengan Anda? Bagaimana Anda menghadapi kesulitan hidup?

Lelah memberi

Seperti yang saya sampaikan di tulisan kemarin, bahwa ada masalah yang dapat timbul dengan bekerja extra mile. Menurut Anda, apa masalahnya? Apakah Anda mengalaminya atau pernah mendengar cerita rekan?

Ini pengalaman saya sendiri. Selama bertahun-tahun, saya sangat terbiasa untuk bekerja extra mile. Saya melakukan banyak hal lebih dari yang diharapkan orang. Akibatnya, tentu orang menjadi puas, dan lebih lanjut mereka meminta saya mengerjakan tugas itu lebih baik lagi. Dampaknya, saya semakin dikenal baik akan kualitas kerja saya, dan saya mendapatkan promosi. Menyenangkan bukan?

Ya, di satu sisi, karena itu artinya saya mendapatkan kepercayaan dan pekerjaan/karir saya semakin mau. Di sisi lain, itu berarti semakin bertambahnya pekerjaan saya dan waktu yang harus diberikan juga semakin banyak. Ketika saya masih menjadi guru junior, tanpa jabatan apapun, tentunya saya mendapatkan gajinya sebagai guru junior. Seberapapun pekerjaan yang saya lakukan sebagai guru junior, gajinya tidak berubah, sampai berganti tahun, mendapat kenaikan gaji, atau naik jabatan. Kalaupun bertambah penghasilan dan penghargaannya, seberapa banyak?

Di sini letak masalahnya. Banyak dari bos perusahaan atau kantor seringkali kurang menghargai kerja karyawannya. Ketika kita bekerja extra mile, seolah itu yang seharusnya kita lakukan. Betapapun baik kualitas kerja kita, kenaikan gaji seringkali tidak signifikan (kecuali jika bos dan pimpinan kita termasuk pemimpin yang hebat). Padahal, waktu yang kita berikan untuk pekerjaan bisa jadi jauh lebih banyak dan berkualitas hasilnya dibanding rekan kerja lain yang gajinya lebih tinggi dari kita. Akibat buruknya, semakin lama motivasi kita bisa tergerus dan relasi dengan pasangan atau keluarga juga bisa memburuk, karena kita tidak merasa cukup dihargai.

Lebih jauh lagi, coba bayangkan kalau Anda bekerja sampai larut malam tapi penghasilan tidak bertambah? Bukankah itu juga menjengkelkan bagi keluarga Anda?

Dalam perspektif ini, saya ingin mengajak kita untuk mengkritisi bahwa bekerja extra mile tidak selalu berakhir baik. Sikapnya baik, tetapi dampaknya tidak selalu menyenangkan bagi kita sendiri. Terlebih lagi, karena ini merupakan sikap memberi, kita pun bisa lelah dan kecewa.

Karena itu, dibutuhkan hikmat bagi kita dalam bekerja. Pahami konteks organisasi tempat kita bekerja. Bijaklah dalam menggunakan waktu kita untuk pekerjaan. Pahami juga kapasitas diri dan keluarga kita. Pahami kebutuhan diri dan keluarga kita.

Saya pribadi termasuk orang yang agak “kurang peduli” dengan hal-hal yang saya sebutkan sendiri itu. Saya termasuk tipe yang akan tetap bekerja walau gaji tidak seberapa, karena saya lebih memilih melihat pekerjaan dan penghasilan saya sebagai berkat dari Tuhan. Karena saya digaji Tuhan, makanya saya bekerja. Bukan sebaliknya. Namun, saya pun memahami bahwa masalah tersebut tak terhindarkan. Saya mengalami konflik dengan pasangan saya karena ada kalanya ia tidak suka karena saya bekerja terlalu lama dan jauh. Di sisi lain, ia bangga juga.

Ada kepuasan tersendiri yang saya rasakan ketika saya memberi lebih, dan itu menjadi sifat alami saya saat ini. Ini yang membuat saya tidak bisa berhenti bekerja extra mile. Pekerjaan apapun, akan saya usahakan untuk beri waktu dan usaha lebih agar mereka yang menerima hasilnya puas dan mendapat pengaruh positif. Terlebih lagi, saya percaya dengan gaya bekerja seperti ini saya dapat menginspirasi orang lain lebih banyak lagi, seperti yang saya impikan.

Namun, sekali lagi. Lihatlah konteks diri kita masing-masing. Apakah kita mendapatkan dukungan? Apakah kita mempunyai waktu dan kesehatan yang mendukung? Apakah ini sesuai dengan prinsip kita? Terlalu lelah memberi juga tidak baik. Hidup kita perlu keseimbangan yang baik.

Mari bijak bekerja.

Berjalan lebih jauh

Apa filosofi Anda dalam bekerja atau mengerjakan sesuatu?

Saya rasa, filosofi yang penting untuk kita pegang adalah dengan melakukan berbagai hal secara extra mile. Bekerja extra mile berarti memberikan lebih dari permintaan minimum atau apa yang seharusnya. Kalau kita perlu membantu mencucikan baju di rumah, kita juga mengeringkannya, bahkan menjemurkannya. Kalau kita seharusnya cukup belajar bab 1 dan 2, kita juga memelajari bab 3 atau lebih. Kalau kita diminta mengajar dengan baik, kita juga mendidik dan menginspirasi anak didik kita. Jika kita diminta menyetir kendaraan dengan aman, kita menyetir juga dengan nyaman. Jika kita diminta bekerja dengan baik, kita juga menolong orang lain untuk bekerja dengan baik.

Sebenarnya, bekerja extra mile juga berarti memberi diri yang terbaik dan mengeksplorasi potensi diri kita. Bukan hanya bekerja berdasarkan harapan minimum dan mempertahankan keadaan yang ada (status quo). Bahkan, jika memungkinkan, membawa perubahan pada organisasi tempat kita bekerja.

Sulit? Tentu! Terlebih lagi jika kita tidak terbiasa. Namun, sulit bukanlah tidak mungkin! Saya ingin berbagi sedikit bagaimana caranya agar kita bisa bekerja dengan sikap demikian.

  • Latihan

Tentunya, setiap karakter, sikap, dan perilaku dapat dilatih. Demikian juga sikap kerja extra mile. Jika kita sudah terbiasa melakukannya, lanjutkan! Jika belum, kita perlu belajar membiasakan diri dengannya. Lakukan lebih dari yang diminta sedikit demi sedikit. Excellence froms from habit.

  • Efisiensi dan efektivitas

Mengusahakan sedemikian rupa untuk membuat pekerjaaan kita menjadi efisien agar menghemat waktu dan tenaga, tapi juga sekaligus pekerjaan kita selesai dengan efektif. Jadi, bukan hanya waktunya singkat, tetapi kualitasnya terjaga. Akibatnya, kita dapat mengerjakan lebih banyak hal dalam waktu yang sama. Kalau biasanya dalam 2 jam kerja kita dapat menyelesaikan 5 pekerjaan, kali ini kita dapat mengerjakan 8 pekerjaan atau bahkan lebih.

  • Fokus pada sikap memberi

Sikap extra mile, menurut saya, adalah sikap memberi. Kalau kita fokus pada diri sendiri, tentunya kita akan cenderung lebih malas, atau lebih egois. Bisa saja kita melakukan kerja extra mile, tapi dibalik itu kita mempunyai maksud tersembunyi, sehingga hasilnya tidak tulus, walaupun berkualitas baik. Ketika kita berusaha fokus pada sikap memberi, kita akan juga merasakan nikmatnya. Pada dasarnya, setiap manusia suka untuk memberi (bahkan terbukti secara biologis). Ketika kita terbiasa memberi, akan lebih mudah bagi kita untuk mempunyai mindset dan sikap bekerja extra mile karena kita berfokus untuk memberikan pekerjaan kita agar bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang.

Kita bisa menemukan tips-tips lain yang lebih spesifik atau yang mungkin lebih cocok dengan diri kita. Satu yang pasti, bekerja extra mile memang tidak mudah dilakukan. Bahkan, bekerja extra mile juga dapat menimbulkan masalah lain, yang akan saya coba bagikan di tulisan besok. Namun, dunia yang terus berubah dan lebih baik muncul dari mereka yang rela bekerja extra mile. Orang-orang terbaik adalah mereka yang memberi lebih dari diminta.

Andakah orangnya?

Terima keuntungannya, lakukan tanggung jawabnya

Alex adalah seorang pimpinan di perusahaan tempatnya bekerja. Sebelum ia sampai di kantor, sekretarisnya sudah ada dan mengaturkan semua jadwal pekerjaan dan rapat. Ruangan Alex selalu bersih sebelum dan sesudah ia meninggalkannya. Di lapangan parkir, sudah tersedia lahan parkir mobil dengan nomor plat mobilnya. Ketika sampai di gedung kantor, satpam membukakan pintu untuknya, dan menyapanya, dan ada lagi orang lain yang mau membawakan tas kerjanya. Jika ia ingin membuat minuman kopi atau teh, ada orang yang mau diminta tolong untuk membuatkannya. Sopir dan mobil kantor pun sudah tersedia baginya mengantarnya ke manapun ia mau.

Ludi adalah seorang staf keuangan di perusahaannya bekerja. Setiap ia sampai di kantor, ia harus mengatur jadwalnya sendiri dan mengatur prioritas pekerjaannya. Ia tidak mempunyai ruangan sendiri, tetapi berkumpul di ruangan besar bersama dengan rekan kerjanya yang lain. Ketika ia mencari parkir, ia harus mencari parkir sendiri. Terlebih lagi, karena ia membawa motor, ia harus memarkirkan motornya agak jauh di tempat yang terbuka dan panas. Ketika ia sampai di kantor, ia membuka pintu sendiri dan ia yang menyapa satpam yang bertugas. Ia membawa tasnya sendiri sampai ia tiba di mejanya. Ketika ia ingin membuat kopi atau teh, ia berjalan sendiri ke dapur dan membuatnya. Ketika ia ditugaskan keluar kantor, ia harus menggunakan motornya sendiri.

Tentunya nikmat bukan jika dalam pekerjaan kita setiap harinya selalu seperti Alex? Kita mendapatkan keuntungan karena kita adalah pimpinan perusahaan. Sebaliknya, tidak terlalu menyenangkan berada di posisi Ludi yang segala hal harus dikerjakan sendiri.

Namun, jangan lupa. Ketika kita berada di posisi Alex yang menerima segala keuntungannya, staf dan bawahan kita memiliki harapan terhadap kita untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Di sisi lain, seperti quote terkenal di film Spiderman, “With great power, comes great responsibility.” Dengan kekuasaan yang besar, tanggung jawab besar pun kita miliki. Semakin tinggi posisi struktural kita, kita mengemban tanggung jawab semakin besar. Kita bisa menerima keuntungan dan semua kenikmatannya, asalkan kita tidak lupa bahwa kita mempunyai tanggung jawab besar di baliknya.

Guru ideal

Menurut Anda, guru seperti apa yang ideal, atau inspiratif?

Dalam sebuah penelitian internasional, Robert J. Walker (2008), ia mendapatkan kesimpulan bahwa guru yang paling diingat oleh muridnya adalah mereka yang memiliki 12 karakteristik berikut:

  1. Persiapan dalam mengajar
  2. Positif
  3. Berekspektasi tinggi
  4. Kreatif
  5. Adil
  6. Menunjukkan sentuhan personal
  7. Menumbuhkan rasa kepemilikan
  8. Berbelas kasih
  9. Memiliki rasa humor
  10. Menghargai dan menghormati muridnya
  11. Pemaaf
  12. Mengakui kesalahan

Dalam banyak penelitian lainnya, dan juga penelitian yang saya sendiri di lakukan di tahun 2016 di sebuah sekolah swasta, ada satu kesamaan kesimpulan. Apa itu? Banyak orang menilai bahwa guru yang inspiratif dan paling diingat adalah mereka yang menunjukkan kepribadian dan karakter yang positif. Kalau kita juga lihat kembali 12 karakteristik di atas, sebagian besar adalah urusan kepribadian dan karakter, bukan profesionalitas sebagai guru.

Bukan berarti bahwa kemampuan pedagogik dan profesionalitas guru tidaklah penting. Karena kedua aspek itu adalah pekerjaan utama guru, jadi tentunya tidak terhindarkan bahwa setiap guru harus memiliki kemampuan yang cukup pada kedua aspek tersebut.

Namun, kalau dipikir lagi dalam konteks kisah kita masing-masing, bukankah memang demikian. Orang, atau guru yang paling kita ingat adalah mereka yang dapat membangkitkan semangat dalam diri kita untuk menjadi lebih baik, dan lebih sering itu bukan karena kemampuan mengajar dan kehebatan orang tersebut di bidang tertentu.

Jika kita adalah seorang guru, tentunya kita harus terus mengasah kemampuan pedagogi (kemampuan mengajar), profesionalitas, manajemen kelas, dan lainnya yang terkait langsung dengan keprofesian guru. Namun, jangan lupa! Murid kita 100% adalah manusia, dan manusia terinspirasi karena tindakan kita dan diri kita. Kepribadian, karakter, sikap, dan perilaku kita sangatlah penting.

“Nobody cares how much you know, until they know how much you care” – Theodore Roosevelt

Siapa muridku?

Jika kita adalah seorang guru, siapa murid kita? Sudah jelas lah ya tidak perlu dijawab. Namun pertanyaannya, kalau kita seorang kepala sekolah? Orang tua? Presiden direktur? Kepala keamanan? Suster kepala? Pendeta? dan seterusnya… siapa murid kita?

Jika kita berbicara dalam konteks jabatan struktural resmi di tempat kita bekerja, murid kita adalah mereka yang secara struktural jabatan persis ada di bawah kita. Murid dari kepala sekolah adalah guru-gurunya (atau juga wakil kepala sekolah), murid dari orang tua adalah anak-anaknya, murid dari kepala keamanan adalah para staf keamanan, murid dari manajer adalah stafnya, dan seterusnya.

Secara khusus, bagi para pimpinan sekolah, ini menjadi hal penting. Khususnya bagi kepala sekolah yang sudah tidak lagi mendapatkan tugas mengajar di kelas, mengetahui siapa muridnya menjadi penting untuk mengingat bahwa pada dasasrnya ia adalah seorang guru, dan mempunya murid yang perlu diajar dan dididik. Kalau biasanya, sebagai guru, mereka mengajar dan mendidik murid, ketika menjadi pimpinan di sekolah, murid mereka berganti menjadi staf guru, admin, dan wakil kepala sekolah.

Layaknya mengajar dan mendidik murid di kelas yang tidak mudah dan memiliki beragam kebutuhan, demikian pula mendidik guru, admin, dan wakil kepala sekolah juga tidak mudah dan membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda. Ada staf yang mungkin mempunyai kesulitan keuangan di keluarganya, kurang mempunyai keterampilan tertentu, atau mempunyai masalah dan kebutuhan lainnya.

Layaknya menjadi guru ideal yang inspiratif bagi murid di kelasnya, hendaknya kita juga menjadi “guru ideal yang inspiratif” bagi “murid” kita saat ini. Layaknya guru di kelas yang perlu untuk memerhatikan keadaan dan kebutuhan setiap muridnya, walau sulit, demikian juga kita sebagai pimpinan. Betapapun beragamnya dan banyaknya, kita tetap harus berusaha sebaik mungkin untuk melayani dan memimpin mereka sebaik-baiknya.

Jadi, siapa murid Anda saat ini, dan apa yang Anda sudah lakukan untuk mereka?

Buktikan!

Di dunia yang kompetitif, kita cenderung mempunyai keinginan untuk membuktikan diri kita, atau kita menantang orang lain untuk membuktikan siapa diri mereka. Dengan menunjukkan kemampuan kita, kita berusaha menunjukkan kepada dunia (orang di sekitar kita) bahwa kita mampu, bahwa kita hebat, dan patut dipandang.

Di masa kini, ini menjadi hal yang sangat wajar, terlebih di dunia digital dan persaingan ketat ini, sangat wajar dan justru kita didorong untuk melakukannya. Post saja di media sosial kita apa yang kita mampu lakukan: menyanyi (cover lagu tertentu), speech, keterampilan tertentu (seperti menjahit, sains, dll), endorse produk tertentu, fashion, dan lainnya.

Saya sangat menyukai ide dan argumen yang dinyatakan oleh Simon Sinek, seorang penulis dan ahli kepemimpinan. Ia mengatakan, “Don’t show up to prove. Show up to improve,” dan pada kesempatan lain juga ia mengatakan, “Show up to give.” Ketika kita mempunyai kesempatan untuk berkarya dan menunjukkan siapa diri kita, hadirlah bukan untuk semata membuktikan diri kita, betapapun tertantangnya kita. Sebaliknya, hadirlah untuk terus mengembangkan diri kita dan mengembangkan orang lain. Hadirlah untuk memberi diri dan berbagi hidup dan pengetahuan kepada sesama kita. Hadirlah untuk memberi manfaat, bukan untuk mendapatkan manfaat.

Maksud dan motivasi kita akan memengaruhi bagaimana kita bersikap dan berperilaku. Hati kita pelita tubuh kita, dari sanalah terpancar kehidupan yang kita tampilkan. Ketika kita lebih termotivasi untuk menunjukkan diri kita dan ada kesombongan di sana, orang akan dapat merasakannya dan cepat atau lambat, mereka akan meninggalkan kita. Sebaliknya, ketika tujuan kita adalah untuk memberi diri dan berbagi, orang akan lebih mudah tertarik pada kita dan bahkan menolong kita.

Sudah cukup terlalu banyak orang yang mau menyombongkan diri dan menunjukkan kehebatannya. Orang yang hebat adalah orang yang rendah hati, dan mau memberi dirinya untuk orang lain dan kepentingan yang lebih besar.

Maukah Anda menjadi pribadi yang rendah hati dan bermanfaat?

Yang mana?

Mana yang lebih penting: pencapaian target omzet perusahaan atau kesejahteraan dan pengembangan hidup pegawai?

Mana yang lebih penting: pencapaian target nilai murid dan sekolah atau kesejahteraan dan pengembangan hidup murid?

Pada pertanyaan pertama, kita bisa menjawab bahwa omzet perusahaan penting karena itu terkait dengan penghasilan kita, tetapi berbeda bagi pertanyaan kedua, yaitu kita memilih kesejahteraan dan pengembangan hidup murid. Atau bisa saja kita menjawab secara konsisten bagi kedua pertanyaan tersebut.

Sebagian dari kita tidak setuju bahwa nilai menjadi patokan utama pembelajaran di sekolah. Terlebih di zaman ini, di mana karakter dan keterampilan (skill) menjadi semakin penting dan bahkan lebih penting dari nilai, dan sulit untuk diukur dengan nilai angka. Kita merasa bahwa ketika seseorang memiliki karakter dan skill yang baik, tidak akan sulit untuk masuk ke universitas dan saat bekerja nantinya. Ditambah lagi, kesejahteraan hidup seseorang sangat penting, terlebih di masa kini di mana kesehatan mental sangat penting karena tekanan yang berlebih.

Sebaliknya, sebagian dari kita juga masih setuju bahwa nilai adalah patokan yang penting. Kita merasa bahwa nilai angka menjadi patokan kecerdasan dan usaha seseorang. Terlebih lagi, ketika nilai kita bagus, akan lebih mudah bagi kita untuk masuk ke sekolah/institusi pendidikan bagus di jenjang berikutnya. Misalnya, kalau nilai kita bagus, lebih mudah bagi kita untuk masuk ke jalur tanpa tes di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tertentu.

Keduanya bagus bukan? Lalu, mana yang kita pilih? Apa yang harus kita lakukan?

Jika kita lanjutkan diskusi ini, akan semakin spesifik dan fokus dari tulisan ini kabur. Belum lagi indikator karakter dan skill yang baik juga bisa jadi ambigu. Mungkin kita mempunyai definisi dan indikator berbeda tentang kedua hal ini (biarlah kita bahas lain kali).

Saya pribadi percaya keduanya bisa digabungkan. Tidak berarti nilai harus selalu bagus, 80, 90, 100, 80, 90, 100, dst. Tidak apa-apa mendapat nilai 60 atau 70 sebagai rata-rata di rapor, asal kita tetap naik kelas, dan kita benar-benar belajar hal penting. Daripada kita mendapat nilai 100 tetapi sebetulnya sudah lupa atau bahkan tidak tahu apa yang kita pelajari.

Selain itu, saya sendiri percaya bahwa nilai angka (walau tidak sempurna) harusnya menjadi representasi kemampuan dan potensi diri seseorang, bukan hanya hasil tes. Pendidikan (yang dilakukan keluarga, orang tua, dan institusi) harusnya holistik, menyeluruh menyentuh berbagai aspek kemampuan seseorang termasuk kesejahteraannya.

Nilai angka bukanlah yang utama. Kesejahteraan seseorang sangatlah penting. Kesejahteraan di sini berarti pendidikan karakternya, nilai-nilai kehidupan, visi hidup, soft-skill dan hard-skill, kemampuan sosialisasi, kemampuan belajar, keterampilan subjek tertentu, dan lainnya. Saya percaya ketika seseorang memiliki karakter yang tepat dan melalui pendidikan yang tepat, nilai angka adalah representasinya, sekali lagi, walau tidak sempurna. Ketika seseorang mempunyai karakter yang baik, ia tahu prioritas dan belajar mengelola dirinya dengan baik.

Ini pilihan saya, yang saya rasa juga berlaku di perusahaan atau tempat kerja kita. Bagi Anda, yang mana?