Egoisnya kita

Sekitar 2 minggu yang lalu, saya berdiskusi dengan rekan kerja saya, sesama guru. Berhubung beliau adalah seorang lulusan psikologi, saya menanyakan hal-hal terkait motivasi, sikap, dan perilaku manusia. Dari hasil diskusi saya dengannya, dan perenungan saya sebelumnya, saya menyadari 1 hal menarik tentang motivasi dan perilaku manusia. Manusia pada dasarnya adalah makhluk egois, dan bahkan ketika berbuat baik bisa jadi ada maksud egois.

Kalau perbuatan egois, tentunya kita paham ya. Kita lebih mementingkan kesenangan diri kita, kebutuhan kita, keinginan kita, kenikmatan hidup kita, pencapaian karir dan finansial kita, dan lainnya. Ketika kita bersikap egois, kita cenderung lebih memikirkan diri sendiri daripada kepentingan orang lain.

Bagaimana dengan berbuat baik atau mementingkan sesama? Pernahkah kita menolong orang tanpa pamrih? Apa rasanya? Saya cukup yakin dalam banyak kesempatan, kita merasa senang. Bukankah ini menarik? Padahal kita yang berupaya memberikan sesuatu (uang, pertolongan, dll), malah kita yang menikmati dan merasakan kesenangan.

Saya tidak tahu dengan Anda, tapi saya merasakan hal itu, dan begitu juga rekan kerja saya ini. Saya pikir banyak orang juga merasakan hal serupa. Kita merasa senang ketika memberikan sesuatu (seringkali bukan berupa uang/materi), dan jangan-jangan, kita berbuat baik pun juga karena kita ingin merasa senang (suatu alasan yang egois bukan untuk berbuat baik?).

Menurut apa yang saya baca di buku yang ditulis Simon Sinek, Start with WHY, ia pun menjelaskan hal serupa. Secara biologis, ketika kita berbuat baik, ada hormone oksitosin yang bekerja, dan itu membuat kita merasa nyaman dan senang dan ingin melakukannya lagi. Seolah, kita bisa ketagihan berbuat baik.

Menarik bukan? Seolah manusia memiliki sifat alami memang untuk menjadi egois. Namun, jangan salah. Walaupun demikian adanya, saya pribadi tetap memilih bahwa manusia hendaknya menjadi selfless, tidak mementingkan diri sendiri, dan lebih mementingkan kepentingan dan hak orang lain, bahkan ketika hidup kita tidak nyaman karenanya atau ketika sesungguhnya kita tidak mau melakukannya.

Ketika kita memilih untuk selalu berbuat baik dalam berbagai kondisi, entah itu menyenangkan hati kita atau melawan kenyamanan hati kita, kita belajar menjadi pemimpin bagi sesama kita. Menjadi pemimpin berarti melakukan apa yang baik dan benar sekalipun kita dirugikan, dengan tujuan untuk menolong sesama dan memberdayakan mereka mencapai potensi terbaiknya.

Walaupun mungkin manusia adalah makhluk yang alaminya egois, bukan berarti kita tidak bisa melawannya. Di sini lah juga peran kepercayaan kita masing-masing, karena menjadi dasar motivasi kita dalam melakukan perbuatan baik tersebut. Menuruti keegoisan tidak membuat dunia menjadi lebih baik. Sebaliknya, menjadi pribadi yang mengasihi orang di sekitar kita seperti kita mengasihi diri sendiri akan menjadikan dunia lebih indah.

Be selfless, not selfish.