Konfrontasi atau Toleransi

Masa persiapan pernikahan sudah selesai kami rampungkan, saya dan istri saya. Namun, ketika mengingat kembali masa persiapan itu, saya paling diingatkan pada 1 minggu terakhir sebelum hari pernikahan kami. Mengapa 1 minggu terakhir? Karena ternyata itu adalah 1 minggu ‘neraka’ bagi kami. Awalnya semua baik-baik saja. Semua persiapan tidak terlalu menemui kendala yang signifikan. Namun, semua berawal dari tim WO yang tidak hadir di General Rehearsal (GR), atau Gladi Bersih persiapan ibadah peneguhan dan pemberkatan di gereja kami.

Tanpa kabar, perwakilan tim WO tidak hadir di acara persiapan tersebut. Usut punya usut, ketua WO berhalangan hadir karena ada anggota keluarganya yang meninggal. Namun, (semoga ceritanya tidak salah) tetap menarik karena seharusnya ada 2-3 orang yang hadir. Kalaupun ketua ini tidak bisa hadir, harusnya masih ada anggotanya 1-2 orang yang hadir di GR tersebut.

Jika Anda berada di posisi saya, apa yang akan Anda lakukan?

Hal ini tentunya sangat menjengkelkan. Sudah bayar mahal paket gedung untuk resepsi, tambahan fee untuk WO karena mereka bertugas dari pagi, kinerjanya tidak sebanding. Bukan hanya itu saja, nampaknya marketing dan ketua WO ini tidak benar-benar mengikuti persiapan kami dengan baik. Sudah dibuatkan rundown detil, bersama dengan semua nomor kontak yang diperlukan, tapi masih bertanya lagi. Menjengkelkan bukan?

Di momen itu, saya merenungkan kembali arti dari berempat dan menjadi pemimpin yang baik. Paling tidak, saya diperhadapkan pada dua pilihan: konfrontasi atau toleransi. Apa yang harus saya lakukan?

Pada waktu itu, kami memilih mengkonfrontasi pihak marketing dan ketua WO tersebut. Jangan bayangkan kami memaki-maki atau marah-marah kacau ya. Konfrontasi yang saya maksud adalah dengan berusaha menyampaikan keluh kesah kami sambil juga menyampaikan apa yang baiknya dilakukan. Di sisi lain, kami pun juga berusaha berempati terhadap keadaan sang ketua WO.

Hal ini yang saya pelajari. Dalam menunjukkan kasih kepada sesama, seringkali kita berada di salah satu ekstrim: konfrontasi atau toleransi. Kita bisa berdalih bahwa kita marah, bersikap tegas, dan disiplin atas dasar kasih sayang (lihat saja orang tua). Di sisi lain, kita berdalih bahwa kalau mengasihi itu harus menjadi pemaaf dan toleran. Keduanya betul saja, tapi tidak sepenuhnya tepat.

Cinta kasih yang benar, menurut saya, perlu mengawinkan keduanya (baca “Kamu salah!”, 6 Juni 2019). Terlalu toleran dan pemaaf bisa menjadikan kekacauan karena orang merasa selalu diampuni dan jadi bisa bertindak sesukanya. Terlalu disiplin dan tegas juga bisa menjadikan orang takut dan enggan berelasi positif dengan kita. Kombinasi cantik dan keseimbangan keduanya, dan konsistensi dalam melakukannya (terutama pada anak atau anak didik) menjadi penting.

Jadi, sekali lagi pertanyaannya.. jika Anda di posisi saya waktu itu, apa yang akan Anda lakukan?