“Guru adalah orang tua di sekolah”
“Guru adalah pengganti orang tua”
Saya cukup yakin kita sering, atau paling tidak, pernah mendengar pernyataan ini. Pertanyaannya, masihkah relevan di masa kini? Atau, jika kita melihat ulang, benarkah guru adalah orang tua di sekolah? Bagaimana jika guru yang mengajar masih sangat muda dan belum mempunyai anak?
Saya mengalaminya, dan saya yakin banyak guru muda lain juga mengalami dan melaluinya. Selama kurang lebih 8 tahun saya mengajar di sekolah, saya belum menikah dan tidak mempunyai anak biologis. Karena itu, sulit bagi saya untuk memahami pernyataan tersebut.
Bagi saya hingga saat ini, lebih mudah menempatkan diri saya dalam posisi sebagai sahabat, mentor, dan kakak, bukan orang tua. Saya tidak mempunyai kapasitas sebagai orang tua, justru sebaliknya, melalui interaksi dengan setiap murid saya, khususnya ketika saya menjadi wali kelas, saya belajar menjadi mentor, kakak, sahabat, dan orang tua yang lebih baik lagi. Justru, saya mendapatkan keuntungan dengan sedikit banyak lebih dipersiapkan untuk menjadi orang tua.
Dalam satu diskusi dengan rekan kerja saya di sekolah terdahulu, beliau mengatakan bahwa guru bukanlah menjadi pengganti orang tua. Saya pikir ini menarik untuk dicermati lebih lanjut. Saya setuju bahwa guru bukanlah pengganti orang tua. Orang tua siswa ya tetap orang tua siswa. Mereka mempunyai tanggung jawabnya sebagai orang tua, sedangkan guru di sekolah adalah pendidik selain orang tua.
Guru tidak mungkin menjadi pengganti orang tua yang mengurus ini itu semua keperluan sang anak didik. Guru bertanggungjawab mendidik dan menjadi pribadi yang mana murid bisa belajar darinya. Walau begitu, guru memang dapat berperan sebagai orang tua di sekolah dalam keterbatasan dan kapasitasnya. Guru berperan mendidik anak didik bukan hanya soal akademik, tetapi juga karakter dan aspek lainnya. Namun, jelas tidak mungkin guru memenuhi semua kebutuhan sang murid.
Menjadi orang tua bagi murid di sekolah berarti juga bahwa kita menjadi mentor, pembimbing, sahabat, teman belajar bagi mereka. Tidak berarti bahwa kita menjadi seseorang yang meneladankan segala hal. Ada kalanya juga orang tua perlu belajar dari anaknya bukan?
Jika ditarik lebih jauh lagi, saya rasa, hal ini dapat diberlakukan di industri selain pendidikan. Misalnya, jika kita seorang dokter atau perawat, kita bisa memberikan layanan ekstra dengan mengajak bicara santai dan mengenal lebih jauh sang pasien sejauh tidak melanggar kode etik atau aturan yang berlaku. Sulit? Tentu. Mungkin? Sangat!
Maukah kita menjadi “orang tua” itu?