“Pak Riyanto, buat apa sih kita belajar tentang lingkaran?! Kapan coba ini dipake di kehidupan nyata?”
Selama kurang lebih 7 tahun saya mengajar matematika, di setiap tahunnya pasti ada saja anak yang mempertanyakan hal tersebut. Entah itu anak SD, SMP, maupun SMA. Topiknya bisa berganti, tetapi pertanyaannya tetap sama, “Apa kita akan menggunakannya di kehidupan nyata, atau saat kita bekerja?”
Pertanyaan ini selalu mengganggu saya karena beberapa alasan berikut:
- Sulit bagi saya untuk menjawabnya secara spesifik, karena ketidaktahuan saya.
- Di masa sekolah dan kuliah, saya tidak pernah mempertanyakan hal serupa, jadi saya juga tidak terlalu mempunyai keingintahuan tinggi terhadap jawaban atas pertanyaan tersebut.
- Di atas semuanya, saya sebetulnya juga ingin bisa mengetahui jawabannya dan kemudian membagikannya kepada anak murid saya agar mereka bisa lebih menikmati belajar matematika.
Karena alasan-alasan itulah juga saya pada akhirnya berusaha mencari jawabannya. Namun, saya mungkin kurang beruntung, tapi saya sangat kesuligan menemukan jawaban pastinya selama ini. Saya berusaha mencari sejarah atau latar belakang dari rumus atau teori tertentu misalnya, tetapi sulit mendapatkan informasinya. Atau mencari aplikasinya, paling sering orang mengaitkannya dengan soal cerita matematika. Padahal bukan itu yang saya cari.
Sejak 2 tahun yang lalu, saya rasa pencarian itu mulai menunjukkan jawaban sedikit demi sedikit. Dimulai dari workshop matematika yang saya ikuti, di mana sang pembicara menyatakan bahwa manfaat belajar terletak pada pelatihan berpikir, dan anak murid perlu difasilitasi untuk berlatih itu melalui setiap bagian pelajaran dan pengerjaan soal. Hal ini bukan sembarang yang penting bisa mengerjakan soal-soal dan mendapatkan jawabannya. Ada hal yang lebih mendalam dari itu, seperti anak perlu bertanya mengapa ia menggunakan cara/metode ini, kenapa tidak metode yang lain.
Kemudian, di tahun ajaran ini, Dean of Curriculum di sekolah kami juga menekankan hal itu dalam pertemuan orang tua murid. Ia mengatakan bahwa matematika merupakan pelajaran unik yang melatih logika berpikir dan manfaat belajar matematika tidak dapat ditemukan di pelajaran lain. Hal ini juga dikonfirmasi oleh teman saya seorang psikolog dan adik angkatan saya lulusan S2 matematika.
Ditambah lagi, matematika merupakan ilmu yang tidak bisa berdiri sendiri jika dilihat aplikasi nyatanya. Ia harus dimanfaatkan dalam “kolaborasi” dengan pelajaran lain. Misalnya, kita ingin membuat model untuk menghitung harapan hidup untuk menentukan besaran manfaat asuransi dan premi yang perlu dibayarkan. Kita jelas dapat menggunakan ilmu matematika untuk itu, tetapi perlu ada pengetahuan terkait ekonomi dan asuransi yang diketahui.
Selain itu, aplikasi dari matematika tidaklah mudah untuk kita “lihat”. Kalau mudah, itu berarti matematika sederhana, seperti aritmatika, kalkulasi diskon/persen. Bagaimana dengan integral, deret angka, trigonometri, lingkaran, dan lainnya yang dipelajari mulai di level SMP? Tidak semudah itu.
Misalnya, aplikasi musik Shazam menggunakan deret Fourier, yang baru dipelajari di tingkat universitas. Lagipula, apa kita juga melihat deretnya? Tidak bukan? Kita perlu menggalinya sangat dalam untuk benar-benar bisa tahu bahwa ada matematika dibaliknya.
Refleksi bagi saya pribadi, matematika tetaplah ilmu yang menarik untuk dipelajari murid di sekolah walau sulit “dilihat” aplikasinya. Belajar matematika pasti bermanfaat untuk mengasah kemampuan berpikir kita, suka atau tidak. Ada kalanya kita perlu beriman terhadap beberapa hal, karena kita tidak bisa “melihat” dengan jelas apa maknanya atau gunanya di depan sana, tapi kita percaya bahwa hal itu akan berguna nantinya.