I love my job

Apakah kita mencintai (love) pekerjaan kita? Bukan menyukai (like), tetapi mencintainya. Menurut Simon Sinek, menyukai pekerjaan berarti kita menyukai tantangannya, upahnya, atau semacamnya. Mencintai pekerjaan kita berarti kita tidak mau pergi ke tempat lain walau diberikan gaji dan keuntungan lebih banyak.

Saya mulai menjajal profesi keguruan di tahun 2011, berarti sudah sekitar 7 tahun (karena sempat vakum 1 tahun karena melanjutkan studi) saya menjalani profesi sebagai guru matematika. Sejak awal, saya terus bergumul saat bekerja sebagai guru matematika. Mengapa? Karena tidak mudah.

Image result for working hard for something we don't care about is called stress meaning

Saya, seperti banyak di antara kita, belajar di sekolah di mana guru-guru matematika saya tidak mengajarkan saya arti penting belajar matematika, kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari, dan keterampilan yang bisa didapatkan dengan memelajari matematika. Saya tumbuh di masa di mana saya menurut saja apapun yang dikatakan guru. Ditambah lagi, saya tidak mengikuti perkuliahan untuk menjadi pendidik (keguruan). Saya berkuliah di jurusan matematika non-keguruan.

Sudah bisa ditebak rasanya bagaimana saya mengajar matematika. Membosankan? Monoton? Tanpa arti? Mungkin. Entahlah. Saya berusaha melengkapi aktivitas belajar mengajar di kelas dengan karakter diri saya yang saya bawakan dengan menjadi guru yang belajar memahami dan memfasilitasi kebutuhan murid.

Selama sekitar 5 tahun menjalani profesi ini dengan cara demikian, sambil berusaha untuk mencari jawaban atas setiap kegelisahan saya, saya merasakan ada arti positif dari cara mengajar saya. Minimal, walaupun saya tidak bisa benar-benar membuat anak menyukai matematika dan mengambil manfaat positifnya (selain demi nilai bagus dan naik ke jenjang berikutnya), murid-murid saya mengatakan bahwa mereka cukup menikmati kelas bersama saya.

Namun, betapapun saya berusaha meyakinkan diri saya terhadap hal demikian, saya tidak puas. Selalu ada kegelisahan, dan ini membuat saya terus bertanya, “Apakah saya guru matematika yang baik? Apakah jalan hidup saya benar menjadi guru? Haruskah saya mencoba profesi lain?”

Murid, pada kelas berapapun, pasti mempertanyakan manfaat dari belajar matematika. Akibatnya setiap tahun ajaran, saya pasti mendapatkan minimal satu kali pertanyaan tersebut. “Pak, buat apa sih kita belajar ini? Memang akan dipakai di kehidupan kami?” Jawaban yang bisa saya berikan hanyalah bahwa matematika bisa melatih cara berpikir kita. Namun, semakin lama, itu terasa menjadi jawaban klise tanpa benar-benar bisa saya maknai.

Image result for finding your passion is hard work

Tahun ajaran ini, saya sedikit banyak menemukan jawaban-jawaban atas kegundahan hati saya selama ini. Saya bisa lebih memaknai arti belajar dan mengajar matematika. Dampaknya, saya dengan lebih senang hati berbagi dan berusaha membagikannya kepada murid-murid saya. Saya bangun setiap pagi menikmati pekerjaan saya. Saya ingin bertemu murid-murid saya untuk mengajarkan dan melatih mereka melihat manfaat dari belajar matematika, yang nampak terlalu abstrak dan tidak bermanfaat ini.

Setelah sekian lama menjalaninya, ini refleksi saya. Menemukan passion atau menikmati/mencintai pekerjaan kita bukanlah perkara bulanan atau 1-2 tahun. Sama layaknya mencari pasangan hidup, bukan memperjuangkan relasi dengan pasangan dalam waktu singkat. Mencintai pekerjaan kita membutuhkan usaha keras dan ada kalanya kita bisa merasa gagal dan ingin berhenti, seperti yang saya rasakan. Kita harus terus berjuang mengasah diri kita sambil terus membuat pekerjaan kita menjadi semakin bermakna. Ini adalah perjalanan hidup yang tidak mudah, hingga akhirnya kita bisa mengatakan, “saya mecintai dan menikmati pekerjaan saya.”

Jika kita saat ini sedang bergumul dalam pekerjaan kita, teruslah berjuang dan bergumul dalam kesabaran. Mungkin besok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan, atau sekian tahun lagi, kita menemukan alasan atau jawaban yang kita cari.

Selamat mencari jawaban, selamat bergumul, selamat berjuang.

Asian children

A             : “Salah satu hal yang saya paling tidak suka dari kamu dan banyak temanmu  yang lain adalah bagaimana kalian hanya menerima begitu saja tanpa bertanya balik atau merespon ketika saya memberikan pertanyaan.”

B             : “Yah kan kita ini anak-anak Asia, sir.”

Percakapan di atas adalah salah satu percakapan saya dengan salah satu murid saya, saya terjemahkan dengan bebas. Namun, itu merupakan isi hati saya. Satu hal yang saya tidak terlalu sukai dari banyak murid saya adalah ketika saya bertanya di kelas dan “menantang” mereka untuk mengkritisi saya dan apa yang saya ajarkan, banyak dari mereka cenderung diam membisu. Ada sebagian kecil dari mereka yang merespon untuk mengkritisi. Hanya 1-2 dari sekitar 15-20 anak per kelas.

Namun, hal ini membuat saya juga berpikir ulang. Dalam percakapan lanjutannya, murid saya tersebut semakin memperjelas apa maksudnya sebagai anak-anak Asia (Asian children). Mereka tumbuh dalam budaya keluarga yang harus taat dan menurut kepada orang tuanya, apapun itu. Dampaknya, mereka cenderung untuk tidak banyak bertanya dan mengkritisi hal-hal yang ada di depan mata mereka.

Apakah ini hal yang baik? Tentu! Taat dan menerima apa adanya sangat diperlukan, pada hal-hal tertentu. Misalnya, taat sepenuhnya pada Tuhan dalam ajaran agama masing-masing. Menjalankan perintah orang tua yang memiliki arti positif. Namun, bagaimana jika perintah atau ajaran orang tidak sejalan dengan hati nurani? Bagaimana jika teori tertentu berlawanan dengan teori lainnya? Bagaimana kalau didikan guru tidak sepenuhnya tepat? Bagaimana jika orang tua juga salah?

Jika kita adalah seorang yang cukup spiritual dan religius, saya meyakini bahwa mencintai Tuhan bukan semata berarti taat tanpa tahu ini itu. Justru, saya yakin bahwa Tuhan mau kita belajar mencintai-Nya dengan segala keberadaan kita, termasuk akal pikiran kita. Belajar itu juga berarti mempertanyakan dan menjadi kritis terhadap keberadaan dan karya-Nya di dunia dan hidup kita.

Jika kita bermimpin menjadi pribadi yang sukses nantinya dalam karya dan pekerjaan kita, menjadi pribadi yang kritis menjadi salah satu karakteristik penting. Mengkritisi apa yang ada dan terjadi di dalam hidup kita menjadi hal penting untuk memajukan kehidupan kita juga dan memahami perjalanan hidup kita lebih baik. Ketika kita cenderung selalu menerima apa adanya, kita akan lebih mudah ditipu dan tidak ada lagi kemajuan di hidup kita.

Image result for critical thinking benefit

Walaupun sebagai orang Asia, bukan berari kita tidak bisa mengkritisi dunia. Namun, saya pun semakin menyadari hal ini, yaitu bahwa ada latar belakang budaya keluarga yang mau tidak mau memengaruhi cara pandang dan pendidikan anak, khususnya dalam hal berpikir dan bersikap kritis ini. Walau begitu, bukan berarti kita tidak bisa berubah dan mengubah cara pikir demikian.

Jika kita adalah orang tua yang terlalu otoriter dan mau mengontrol segala hal, kita perlu memberikan ruang lebih banyak bagi anak kita untuk mengkritisi ini itu. Sebaliknya, jika kita terlalu bebas, berikan ruang juga untuk anak belajar taat. Keseimbangan di antara keduanya menjadi hal penting di dalam hidup ini.

Mari terus belajar sebagai orang Asia yang maju.

Coba lagi

Livia:    “Pak, bagaimana kalau salah nanti?”

Guru:    “Sudah tidak apa-apa. Paling penting itu kamu coba dulu.”

Livia:     “Terus, kalau salah nanti bagaimana?”

Guru:    “Ya dicoba lagi.”

 

Percakapan tersebut nampak sederhana, namun apa yang bisa kita pelajari? Seberapa sering kita membiarkan anak kita, atau anak murid kita berbuat salah dari hasil percobaannya?

Saya rasa, pendidikan di masa kini sangat tidak membiarkan hal tersebut. Nilai ujian harus bagus, karena nantinya berdampak pada ranking atau persepsi masyarakat tentang sekolah. Nilai ujian harus bagus, karena kalau tidak akan sulit masuk ke jenjang berikutnya. Semua harus benar, kalau tidak bukan anak yang pintar. Sumber daya semakin kaya, dan anak semakin dituntut untuk benar dalam segala hal. Pendidikan masa kini semakin sulit saja rasanya.

Benar dalam segala hal, memang tidak masalah. Namun, kita seringkali lupa bahwa ini adalah masa pendidikan. Tidak selalu yang dilakukannya tepat. Tidak selalu yang dilakukannya sesuai dengan apa yang kita harapkan. Tidak selalu yang dilakukannya atas dasar pemikiran dan alasan yang tepat. Justru, pada masa ini lah kita sebagai pendidik dan orang yang lebih bijaksana dan dewasa perlu mengarahkan mereka dalam keterbatasan, kelemahan, dan kesalahan yang mereka perbuat.

Dalam sebuat penelitian neurosains, ditemukan bahwa berbuat kesalahan dalam belajar adalah hal yang baik! Menarik bukan? Menurut penelitian ini, ketika kita berbuat salah, otak kita justru berkembang. Sebaliknya, mereka yang terus berusaha benar justru kalah berkembang. (http://youngmathematicians.edc.org/mindset/the-power-of-making-mistakes/)

Mungkin ini nampak aneh bagi sebagian dari kita, dan celakanya, masyarakat seringkali menghakimi kita ketika kita berbuat salah. Memang, ada batasnya, seperti moral dan etika. Namun, kita juga perlu memberi ruang untuk itu, baik dalam pendidikan formal, informal, di rumah, bahkan dalam bisnis dan pekerjaan sekalipun.

Walau begitu, ini bukan berarti kita jadi punya alasan untuk selalu berbuat salah. Tidak! Justru, kita dituntut untuk belajar dan bekerja sebaik-baiknya, dalam kesempatan berbuat salah dan gagal. Justru dari sanalah kita berefleksi dan mengevaluasi, dan semakin memahami apa yang harus kita lakukan ke depannya.

Berani kotor itu baik, berani salah itu baik.

End goal in mind

Ketika kita mempunyai masalah atau tantangan di depan, apa yang harusnya kita lakukan? Saya akan berbagi mengenai satu cara yang akan berguna dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah, yang saya pelajari dari matematika. Walaupun belajar dari matematika, bukan berarti ini hanya berlaku di ilmu matematika, tetapi juga dapat diterapkan dalam hidup sehari-hari maupun dalam dunia kepemimpinan.

Misalnya diberikan soal matematika sebagai berikut:

Kenny membuat mainan kayu berbentuk prisma segitiga sama sisi, dengan ukuran alas 6 cm dan tinggi prisma 12 cm. Mainan tersebut kemudian akan dicat berwarna biru. Harga cat per kalengnya adalah Rp 50.000,00, dan setiap kaleng dapat digunakan untuk mengecat daerah seluas 5 m2. Kenny akan memproduksi sebanyak 1000 mainan kayu. Berapa kaleng cat yang perlu dibeli Kenny dan berapa total harganya?

Siapa juga yang peduli Kenny akan membeli cat dan mengecat mainan kayunya ya? Sebetulnya tidak ada, dan pertanyaan matematika semacam ini sangat dirasa tidak penting bagi sebagian dari kita. Namun, ketika kita belajar matematika, kita dapat belajar cara berpikir penyelesaian masalah yang baik.

Orang bijak berkata, “Mulailah dari tujuan akhir di pikiran kita.” Start with end goal in mind. Untuk apa? Sama layaknya visi hidup, kita perlu memulai dari apa yang menjadi tujuannya. Apa yang menjadi end product dari perusahaan start up atau bisnis kita. Apa yang menjadi tujuan utamanya?

Demikian juga ketika kita menyelesaikan suatu masalah, kita perlu melihat apa yang sebenarnya menjadi masalah utamanya. Dalam contoh soal matematika tadi, tujuannya adalah menentukan banyaknya kaleng cat yang dibeli Kenny dan total harganya.

Sebagian kita biasanya sudah cukup ahli dalam menemukan inti atau tujuan permasalahannya. Namun, bagaimana dengan langkah selanjutnya? Nah ini yang menjadi masalah.

Semakin hari, saya semakin menyadari betapa banyaknya murid saya yang tidak benar-benar memahami dan menjalani cara pikir penyelesaian masalah dengan baik. Mereka seperti asal membaca soal matematika dan menyelesaikannya. Sebagian mengetahui tujuan soal atau masalahnya, tetapi kemudian nge-blank begitu saja.

Bagaimana seharusnya kita menyelesaikan masalah matematika ini? Setelah kita mulai dari tujuan utamanya, mari kita tarik mundur untuk menemukan akarnya. Berikut beberapa langkah yang bisa digunakan:

  1. Tujuan utama?
    Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan pada kalimat terakhir, yaitu mengetahui banyaknya kaleng cat dan total harganya.
  2. Apa yang kita miliki? (sumber daya, informasi, dll)
  • Rumus untuk menghitung total harga: Harga satuan x Total unit kaleng
    Dari soal, kita mempunyai informasi beberapa informasi berikut:
  • Bentuk mainan yang akan diproduksi dan dicat à prisma segitiga
  • Ukuran mainan yang akan diproduksi dan dicat à alas segitiga sama sisi 6 cm, dan tinggi prisma 12 cm.
  • Diproduksi 1000 mainan identik
  • Semua mainan dicat
  • Total luas daerah per kaleng cat
  • Harga cat Rp 50.000,00 per kaleng

 

  1. Apa yang kemudian dibutuhkan?
    Untuk menemukan total harganya, kita perlu mengetahui harga satuan dan jumlah kaleng yang dibeli.
    Untuk mengetahui banyaknya kaleng cat yang dibeli, kita perlu mengetahui seberapa besar daerah yang akan dicat, atau berarti mengetahui total luas daerah yang akan dicat.
    Untuk mengetahui total luas daerah yang akan dicat, kita perlu mengetahui bentuk dan ukuran daerah
    yang akan dicat.

  2. Menghubungkan informasi dan sumber daya yang kita miliki dengan tujuannya
    Karena kita mengetahui informasi bentuk dan ukurannya, kita dapat menghitung luas daerah setiap mainannya.
    Setelah mendapatkan luas daerah setiap mainan, kita dapat mengalikannya dengan 1000 untuk mendapatkan total luas daerah yang akan dicat.
    Setelah itu, kita dapat mengaitkannya dengan total luas daerah per kaleng cat.
    Barulah kita mendapatkan berapa banyak kaleng, lalu total harganya.

 

Menarik bukan? Tidak tahu dengan Anda, tetapi saya menyukai proses berpikir ini. Dan menarik bagaimana matematika dapat membawa kita berpikir pada level yang lebih tinggi lagi. Sekarang, cobalah latih ini bagi diri kita sendiri terlebih dahulu, gunakan untuk menganalisa dan menyelesaikan masalah tertentu yang kita hadapi.

Selamat mencoba.

Konsistensi

Beberapa hari terakhir ini, saya mengalami kesulitan dalam menulis artikel di blog saya ini. Karena itu, saya mohon maaf karena tidak bisa mem-post tulisan di setiap harinya, seperti komitmen saya pada bulan April lalu. Nyatanya, tidak mudah untuk menulis setiap hari karena terkadang ide atau inspirasi tidak datang di setiap waktu. Atau, kalaupun ada idenya, terkadang sulit meluang waktu untuk menulisnya karena ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Hal ini menunjukkan bahwa konsistensi tidaklah mudah. Berkarya dengan konsisten lebih menyulitkan daripada membuat suatu karya dengan intensitas yang tinggi tetapi tidak rutin. Dibutuhkan komitmen dan kerja keras setiap waktunya secara rutin untuk dapat mempertahankan konsistensi kinerja kita.

Sialnya, konsistensi bisa berbuah buruk bagi kita, yaitu di mana orang lain tidak menganggapnya sebagai hal penting lagi, karena sudah terlalu rutin. Misalnya, jika rutin berbuat baik, seolah itu memang sesuatu hal yang wajar saja terjadi. Jika anak murid selalu gagal dalam tes matematika, sebagian guru akan mudah melabelnya sebagai anak bodoh atau gagal (dan sulit mengubah persepsinya kecuali ada perubahan pada diri guru atau pada sang murid).

Namun, konsistensi tidak pernah bohong. Proses tidak pernah mengkhianati hasil, kata orang bijak. Ketika kita berusaha selalu konsisten berkarya dengan berkualitas, suatu hari hasil baik itu akan datang. Sulit? Tentu. Mungkin? Tentu. Asalkan, kita tidak menyerah.

Tidak perlu

“Ada waktunya berbicara, ada waktunya berdiam dan mendengarkan. Ada waktunya menolong, ada waktunya tidak menolong. Ada waktunya bekerja, ada waktunya beristirahat.”

Setujukah kita?

Sebagai seorang introvert, mudah bagi saya untuk berdiam dan tidak berkata-kata, dibanding harus merespon segala sesuatu. Mudah bagi saya untuk tidak memedulikan hal yang ada di depan saya yang sedang menjadi bahasan, jika itu tidak menarik sama sekali bagi saya.

Sebagai seorang introvert, saya selalu merasa bahwa tidak harus saya merespon setiap kondisi dan situasi, tidak harus saya proaktif menghadapi berbagai kondisi. Namun, dunia seringkali mengatakan lain. Katanya, orang proaktif lebih baik, yang inisiatif lebih baik, yang aktif menolong dan berbicara lebih baik, dan seterusnya.

Image result for practice being the last to speak

Dalam perjalanan kehidupan saya, saya justru semakin menyadari pentingnya bijaksana dalam berkata dan bertindak. Ada saatnya silence is golden, tetapi ada saatnya juga tidak dan saya harus bertindak dan berkata-kata. Ada saatnya saya perlu mengkoreksi tindakan anak murid, ada kalanya juga lebih baik untuk membiarkannya belajar dari pengalaman kegagalan atau kejatuhan.

Tidak selalu berbicara itu baik, walaupun dengan kata-kata positif. Ada kalanya kita perlu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara. Hal ini membutuhkan latihan, dan tidak mudah, khususnya bagi mereka yang menikmati menjadi proaktif dan aktif berbicara/berpendapat.

Practice being the last to speak, or even keep it to yourself. Mari berlatih, mari menjadi lebih bijaksana.

Aku miskin

Kaya atau miskin? Yang manakah status Anda saat ini?

Saya tidak menyebutkan definisi atau indikator dari kaya atau miskin. Menurut Anda, yang manakah Anda?

Saya yakin saya orang kaya. Bukan secara materi, dalam arti saya tidak berkelimpahan uang dan harta. Namun, saya merasakan kepuasan atas hidup saya. Saya kaya karena saya menikmati dan mensyukuri apa yang ada dalam hidup saya.

Saya mempunyai orang tua dan keluarga yang lengkap, keluarga dari istri yang lengkap, seorang istri yang hebat dalam kekurangannya, pekerjaan yang menantang dan menyenangkan, pekerjaan dengan gaji yang cukup, teman dan sahabat yang baik, pelayanan dan gereja yang menyenangkan, dan berbagai hal lainnya. Tentunya, hidup saya memiliki kekurangannya tersendiri, tetapi bukan berarti tidak ada hal yang dapat disyukuri.

Image result for i am rich

Saya meyakini bahwa kaya bukan berarti berkelimpahan materi. Ada banyak orang yang kaya atau berkelimpahan secara materi tetapi tidak benar-benar merasa “kaya” dalam hidupnya. Sebaliknya, ada banyak orang yang tidak punya cukup uang sehari-harinya, tetapi merasa “kaya” dalam hidupnya. Ini berarti kaya dan miskin bukanlah soal hal fisik semata, tetapi lebih pada perasaan dan cara pandang kehidupan.

Jika kita berfokus pada kekayaan secara materi dan fisik, kita tidak akan pernah puas. Selalu ada yang lebih kaya daripada orang terkaya. Selalu ada yang bisa didapatkan lebih dan lebih lagi walaupun kita sudah mempunyai banyak. Kita pun juga jadi sulit memberi dan berbagi karena selalu kurang dalam hidup kita. Orang-orang yang demikian justru adalah mereka yang miskin.

Jadi.. pertanyaannya.. apakah Anda miskin.. atau kaya?

Belajar lebih giat

Salah satu feedback atau komentar dari guru yang saya paling sering dengar atau baca adalah seperti berikut ini:

“Sebetulnya dia anak yang pintar dan mempunyai banyak potensi. Ia hanya perlu belajar lebih giat.”

Kata “lebih giat” bisa diganti atau ditambahkan dengan “lebih fokus”, “lebih tekun, atau semacamnya. Pertanyaannya, tepatkah feedback semacam ini?

Sebetulnya, tidak ada yang salah dengan feedback tersebut. Sama sekali tidak masalah. Bahkan, dalam banyak kasus sebetulnya tepat. Seringkali, anak, atau kita, memang kurang rajin atau kurang memberikan usaha yang cukup baik. Kita tidak belajar cukup rajin dan keras, kita tidak bekerja cukup keras, sehingga hasilnya pun juga tidak cukup baik.

Namun, sebagian guru dan orang tua memiliki kecenderungan untuk memberikan nasihat generik semacam itu, karena tidak sepenuhnya tahu apa yang harus dikatakan. Padahal, yang dibutuhkan adalah feedback yang spesifik. Apa yang menjadi kekuatannya, apa yang menjadi kelemahannya. Mana yang bisa dikembangkan lebih lanjut, mana yang masih menjadi pergumulan.

Sebagian dari kita mungkin terjebak pada praktik ini. Hanya sekadar mengatakan, “kamu anak yang hebat kok, terus berusaha lagi pasti bisa kok!” Lama-lama, kita pun bisa jengah, seraya berkata, “Aku juga sudah usaha banget kali ini. Tapi ya memang mau bagaimana lagi?!”

Mulai saat ini, ketika kita memberikan feedback kepada orang lain, atau anak didik kita, ingatlah untuk memberikan feedback yang spesifik. Beberapa contoh berikut bisa dipakai:

  • Stop mengatakan bahwa “ia orang yang baik”. Buatlah lebih spesifik, misalnya: “Ia orang yang sabar, teguh pada pendirian, dan tidak mudah mengeluh.”
  • Kalau ada anak yang mendapatkan hasil kurang baik di tes matematika, “Berdasarkan hasil tes, kamu menunjukkan bahwa kamu kurang memahami konsep dan cara memfaktorkan polinomial kuadratik, dan ada beberapa kesalahan karena kurang teliti. Namun, kamu sudah menunjukkan bahwa kamu bisa menggunakan rumus kuadratik. Pelajari dan latihan lebih banyak di bagian yang masih kurang ya.”

Memberi feedback pun perlu latihan, bukan hanya mereka yang sedang dalam proses belajar. Ini mungkin karena kita pun tidak mendapatkan pengalaman serupa. Namun, seperti layaknya memberi apresiasi positif, memberi feedback spesifik pun pasti bisa dikembangkan lebih lagi agar memberi dampak lebih signifikan dan positif bagi mereka di sekitar kita. Semakin kita bisa membuatnya menjadi spesifik, itu juga menunjukkan kita semakin kritis dalam berpikir.

Selamat belajar, selamat memberi feedback spesifik yang membangun, selamat menjadi kritis.