Beberapa waktu yang lalu, sekolah saya mengadakan kompetisi/turnamen olahraga antarsekolah (cup). Beberapa cabang olahraga seperti anggar, renang, bola basket, voli, dan sepak bola dipertandingkan di sana. Saya ikut membantu sebagai guru pendamping untuk cabang bola basket, berhubung memang saya pernah bermain basket dan menaruh minat di basket.
Pada hari ketiga pertandingan, saya melihat tim basket putra SMP sekolah kami akan bertanding, namun tidak ada pelatihnya. Katanya, pelatihnya tidak akan hadir. Awalnya, saya berjaga di table official untuk mengawasi pencatatan skor dan lainnya. Namun, karena merasa kasian (plus ada anak yang minta ke saya untuk membantu melatih), saya akhirnya tergerak untuk membantu.
Singkat cerita, saya menjadi pelatih mereka di pertandingan itu dan mereka memenangkan pertandingan tersebut dalam permainan yang agak ketat. Di hari berikutnya, mereka bertanding dua kali dalam sehari, dan sekali lagi sang pelatih mereka tidak bisa hadir, dan saya menggantikannya. Total, dari tiga kali bertanding dengan saya membantu, mereka menang dua kali dan kalah satu kali.
Berakhir dengan kekalahan, setelah seluruh pertandingan selesai, kami berkumpul dan mengevaluasi dan briefing sedikit. Di sana, mereka menanyakan kepada saya, “Will you be our coach, sir?” Awalnya, tidak ada niat bagi saya untuk menjadi pelatih mereka. Saya hanya ingin membantu karena melihat mereka akan bertanding tanpa pelatih (yang rasanya sangat aneh). Terlebih lagi, ternyata selama ini, menurut mereka, mereka tidak pernah benar-benar berlatih di bawah arahan. Jelas, mereka berharap dapat bermain lebih baik lagi dan menang di lain waktu.
Poin saya di sini bukan keterlibatan saya atau menunjukkan kehebatan saya. Namun, baik itu secara individu maupun kelompok, kita seringkali mempunyai kesadaran bahwa kita membutuhkan seseorang yang menolong kita menjadi lebih baik, seperti apa yang dirasakan anak-anak murid saya. Kita ingin menang, kita ingin bahagia, kita ingin mencapai sesuatu yang lebih baik, dan ada kalanya (atau sering) kita tidak bisa mencapainya sendiri dan membutuhkan pertolongan dan arahan orang lain. Orang lain itu bisa jadi orang tua kita, teman, senior, mentor, guru, atau lainnya.
Apakah itu hal yang buruk? Tidak! Sama sekali tidak! Pada dasarnya toh memang manusia itu makhluk sosial yang saling membutuhkan. Dan menolong orang lain untuk menjadi lebih baik juga merupakan kebahagiaan tersendiri. Ditolong untuk menjadi lebih baik pun rasanya menyenangkan, dan pada titik tertentu, kita mempunyai rasa untuk membanggakan mereka yang menolong kita.
Pada saat ini, mungkin kita berada dalam kondisi di mana kita membutuhkan pertolongan orang lain untuk bisa berkembang jauh lebih baik lagi. Mungkin ada rekan atau mentor yang bisa melihat kelemahan dan kekuatan kita dengan lebih seksama, dan menolong kita memperbaikinya. Carilah, dan beranilah untuk mengutarakannya. Kalau kita bisa mengusahakannya sendiri, bolehlah. Kalau tidak? Kita akan terperangkap di dalamnya. Ingat, atlet kelas dunia yang sangat sukses pun selalu mempunyai mentor atau pelatih.
Jika kita berada dalam kondisi yang dimintai arahan dan bantuan, atau melihat seseorang yang membutuhkannya, beranikan diri untuk menjawab panggilan itu. Mungkin kita merasa bahwa kita tidak sehebat itu. Hei, ingatlah! Menjadi pelatih atau mentor bukan berarti harus hebat dulu. Kalau harus hebat dulu, kita tidak akan pernah mencapai titik itu mungkin, atau itu harus menunggu tua dahulu. Sir Alex Ferguson pun mungkin ragu-ragu ketika ia memulai kariernya sebagai pelatih sepak bola.
Mari menjawab panggilan menjadi mentor dan menolong sesama. Mari meminta arahan dan pertolongan khususnya ketika kita sangat membutuhkannya. Mari kita terus bertumbuh lebih baik dari kemarin.