I am the role model!

Sebagai orang tua dan pemimpin, pada level apapun itu, kita mempunyai kecenderungan untuk “meminta” anak-anak kita dan pengikut/bawahan kita untuk menjadi seperti kita (atau menjadi seperti apa yang kita harapkan). Sebagian anak-anak “diminta” melalui didikan untuk menjadi anak yang taat, hormat pada orang tua, rajin membaca, rajin belajar, les ini dan itu, dan sebagainya. Sebagian anak-anak lain “diminta” untuk menjadi anak yang seperti teman dengan orang tuanya, boleh lebih bebas mengatur jadwalnya sendiri dan berbicara dengan lebih luwes, dan sebagainya. Pengikut kita juga kita “minta” untuk melakukan hal-hal yang kita inginkan di tempat kita bekerja, baik itu soal pekerjaan maupun sikap dalam bekerja dan berinteraksi dengan sesama.

Semua itu adalah hal yang alami kita lakukan sebagai orang yang mempunyai otoritas atas orang lain. Entah itu sebagai orang tua, guru, maupun pemimpin. Bahkan, memang dalam masyarakat kita dituntut untuk demikian.

Namun, sayangnya. Kita ketahui juga bahwa tidak semua orang tua mendidik dengan baik. Tidak semua guru mendidik dan mengajar dengan sempurna. Tidak semua pimpinan memimpin dengan efektif. Bahkan, kenyataannya ada banyak di antara kita yang cacat dalam menjalankan peran tersebut. Kita menjadi “racun” dalam komunitas atau tim kita, membuat sulit hidup orang yang kita pimpin, atau anak kita sendiri.

Kita, sadar atau tidak, berharap menjadi role model atau teladan yang baik, tetapi pada saat bersamaan kita belum tentu mampu melakukannya. Hal ini bisa menjadi bahasan tersendiri (bukan bagian dari tujuan saya menulis artikel ini). Sayangnya, dalam ketidakmampuan kita tersebut, kita ingin (dan mendidik) orang lain menjadi agar menjadi seperti yang kita inginkan (atau menjadi seperti kita). Kalau kita adalah orang yang terbuka dan mau terus belajar, walaupun kemampuan kita tidak seberapa, masih tidak apa. Sulit jika ternyata kita adalah orang yang tidak mau belajar. Apa akibatnya? Hidup orang lain merana.

Lalu, bagaimana sikap kita jika berperan sebagai anak? Sebagai bawahan? Sebagai orang yang “dididik” untuk menjadi seperti mereka? Tiga hal yang bisa saya bagikan:

  1. Kritis
    Kita perlu belajar bersikap dan berpikir kritis. Mengapa? Dengan demikian, kita dapat lebih memilah mana yang baik kita ikuti, mana yang tidak. Mana yang sesuai dengan nilai moral yang kita anut, mana yang tidak. Mana yang sesuai dengan prinsip hidup kita, dan mana yang berlawanan.
  2. Self-education (pendidikan diri)
    Perlu adanya pendidikan yang terus menerus kita lakukan, walau kita tidak mendapatkan didikan yang baik dan benar dari lingkungan kita. Kita tidak bisa bermain menjadi korban (playing victim) dan menyalahkan keadaan atau orang lain. Kita bertanggungjawab dan berkewajiban mendidik diri sendiri, kapanpun dan di mana pun itu.

  3. Courage (keberanian)
    Milikilah keberanian untuk “membangkang”. Lho, kok membangkang? Bukannya itu salah? Membangkang di sini berarti kita berani menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip, nilai yang kita anut. Bisa jadi orang tua kita pun salah. Bisa jadi guru kita salah. Bisa jadi pemimpin kita salah. Bisa jadi lingkungan sekitar kita mengajarkan hal yang tidak sesuai etika dan moral. Hal ini menjadi tekanan bagi kita, dan dibutuhkan keberanian untuk “membangkang” dan memilih berjalan di jalan yang benar.

Image result for toxic parents quotesJika kita adalah seorang guru, orang tua, atau pemimpin, teruslah belajar dan terbuka terhadap masukan agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain, khususnya mereka yang kita pimpin. Menyadari bahwa kita tidak sempurna dan terus mau belajar menjadi kunci penting dalam relasi kita dengan mereka.

Sebaliknya, jika kita adalah seorang yang dipimpin, tetap hormatilah mereka yang memimpin dan mendidik kita, walaupun mereka salah (atau bahkan berulang kali salah). Mereka pun manusia. Di saat bersamaan, kita juga bertanggungjawab mendidik diri kita sendiri dan berani mengambil jalan yang berbeda yang kita percayai benar.

Selamat menjadi role model.