Teach Less, Learn More

Beberapa tahun lalu, dunia (khususnya di bidang pendidikan) dikejutkan oleh sebuah negara di Eropa yang berhasil memiliki pencapaian tinggi di tes internasional (PISA) yang mengukur dan menganalisa kemampuan anak-anak berusia 15 tahun pada bidang literasi, numerasi, dan sains. Ketika negara top penghuni peringkat atas tes tersebut lebih banyak berasal dari negara-negara dengan sistem pendidikan yang “berat”, seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan Singapura, negara ini “berhasil” masuk di peringkat 5 besar dengan sistem pendidikannya yang tidak menekankan “kerja keras” seperti negara-negara tersebut.

Related image

Mata para pejabat pemerintahan di berbagai negara tertuju pada negeri ini, karena “keberhasilan” negeri ini mencapai hasil yang sangat baik dengan cara yang “lunak” itu. Di tengah ketenarannya, ada satu frase yang menjadi prinsip pendidikan di Finlandia. “Teach less, learn more.” Ini menjadi salah satu prinsip pendidikan yang dihidupi dan dijalankan di Finlandia, yang saya baru tahu belakangan juga ternyata diterapkan di Singapura.

Dari banyak keunikan dan kekuatan pendidikan di Finlandia, bagi saya, satu prinsip ini yang paling menarik. Mengapa? Karena saya tidak memahaminya. Bagaimana maksudnya “teach less, learn more”? Bagaimana mungkin itu diterapkan? Bagaimana ceritanya guru sedikit mengajar, murid banyak belajar. Bukankah itu aneh? Bukankah anak murid belajar dari gurunya?

Desember lalu, seperti yang sebelumnya saya pernah bagikan juga, saya mengikuti workshop pembelajaran matematika yang dibawakan Dr. Yeap Ban Har, pakar dan konsultan pendidikan matematika dari Singapura. Dalam workshop tersebut, beliau mengatakan bahwa prinsip “teach less, learn more” adalah prinsip yang diterapkan di Singapura. Beliau tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai hal ini, namun beliau mempraktikkannya dan menunjukkan apa maksudnya.

Sekarang, saya baru lebih memahami apa maksudnya, secara khusus, dalam pembelajaran matematika. Ini yang saya pahami dan saya ingin bagikan di tulisan ini.

  • Sebagai guru, tugas kita bukan untuk mengajar, dalam arti untuk menjadi satu-satunya sumber pengetahuan bagi sang peserta didik.
  • Dalam belajar matematika, tugas guru adalah memfasilitasi pembelajaran dan lingkungan belajar agar anak dapat memahami konsepnya, bukan “mengajarkan” konsepnya.
  • Tugas guru adalah untuk menciptakan suasana dan kondisi belajar agar anak murid yang mengeksplorasi sendiri dan berdiskusi dengan temannya.
  • Guru berperan memberikan pertanyaan (questioning and coaching) agar murid berpikir sendiri dan mencoba menyelesaikan masalah atau soal yang diberikan.
  • Guru tidak menjelaskan dalam rangka untuk mengajarkan konsep, tetapi menciptakan ruang bagi anak untuk dapat memahami konsep matematika secara mandiri.

Beberapa waktu belakangan ini, saya terus mencoba mempraktikkan hal ini di kelas. Hasilnya? Saya senang! Mengapa? Karena saya (mungkin) berhasil untuk mempraktikkan prinsip tersebut. Saya memberikan soal kepada murid saya untuk mereka coba gali dan diskusikan dengan teman mereka, dan saya “hanya” mengarahkan dan memberikan pertanyaan lebih lanjut. Saya tidak memberikan jawabannya atau memberikan klu agar mereka mengetahui jawabannya, tetapi saya memberikan ruang bagi anak-anak murid saya untuk berpikir, menggali, dan membuat semuanya masuk akal bagi mereka.

Image result for teacher facilitates

Pada titik tertentu, saya baru memahami bahwa ini maksudnya “teach less, learn more” itu. Saya lebih sedikit menjelaskan atau memberi tahu informasi, tapi justru anak lebih banyak berpikir dan belajar memahami konsep secara mandiri.

Dalam hidup (bukan hanya belajar atau kehidupan di sekolah), ada kalanya pun kita perlu melakukan hal ini. Sedikit lebih memberi nasihat, agar anak kita punya ruang mencoba sendiri dan melakukan kesalahan (yang ternyata lebih bermanfaat daripada selalu benar). Ada baiknya kita mengarahkan dan memberikan pertanyaan daripada memberikan jawaban atas pertanyaan mereka. Kita berusaha mengajarkan keterampilan yang lebih penting dan esensial untuk mereka miliki dalam mencari jawaban atas masalah mereka, daripada sekadar langsung mengetahui jawabannya.

Mari kita merefleksikan praktik mendidik kita, baik sebagai guru, pemimpin, orang tua, atau apapun kita. Tidak selalu mengajarkan langsung itu baik. Tidak selalu menyuapi itu baik. Tidak selalu memberitahu jawaban itu baik. Saat ini, jauh lebih baik ketika kita memperlengkapi mereka dengan keterampilan untuk mencari jawabannya, menolong mereka menjadi mandiri dan memahami apa yang perlu dilakukan.

Selamat mencoba!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s