Seorang teman, pada suatu waktu meminta bantuan pada saya untuk mengerjakan tugas kuliah S2-nya. Ia meminta tolong saya untuk melakukan proofread dan memberikan komentar terhadap tulisannya. Tugas di masa kuliah S2 saya memang adalah untuk membuat tulisan seperti untuk jurnal akademik dalam rentang waktu 3 bulan. Teman saya ini merasa kesulitan memahami dosen saya, sehingga ia meminta bantuan saya.
Saya mencoba untuk memberikan bantuan sebaik mungkin yang bisa saya berikan. Belajar dari dosen saya dalam bagaimana beliau memberikan feedback, demikian saya juga berusaha memberikan feedback padanya. Detil, coretan merah, usulan kalimat, struktur, bahasa/pemilihan kata, dan lainnya. Setelah saya selesai dengan feedback tersebut, kami bertemu untuk membahasnya dan saya berusaha menjelaskan padanya. Pada pertemuan itu, ia mengungkapkan terima kasihnya dan akan memperbaiki tulisannya.
Singkat cerita, nyatanya ia tidak begitu ingin memperbaikinya (atau ia tidak memahaminya, entahlah.) Ia hanya memperbaiki bagian yang ia rasa perlu diperbaiki. Belakangan, setelah juga berbicara dengan dosen saya, saya belajar mengetahui bahwa teman saya ini “merasa” dirinya cukup pintar karena sebelumnya juga sudah pernah mengambil kuliah S2, dan seperti “tidak rela” dikritisi. Meminta pendapat, menurut kesimpulan saya, baginya lebih kepada seperti mencari pembenaran atas pendapatnya, bukan untuk membuka diri terhadap kemungkinan hal baru yang dapat memperbaiki diri maupun pekerjaannya.
Apakah kita pernah mengalami hal semacam ini? Atau.. jangan-jangan karakter teman saya itu adalah kita sendiri?
“Our choices reveal our intentions” – Simon Sinek
Pilihan yang kita ambil dalam hidup merefleksikan motivasi dan tujuan kita di dalam hati, yang seorang pun tidak tahu. Tindakan kita menjadi bukti dari pilihan yang kita ambil. Dalam cerita saya di atas, teman saya telah membuat pilihannya, begitu juga pula dengan saya. Walau orang lain mungkin tidak tahu, tetapi kita mengetahui mengapa kita melakukan yang kita lakukan, bahkan dengan cara yang kita gunakan. Terlebih lagi, semakin dewasa kita, hendaknya kita semakin peka terhadap hal ini.
Lalu apa pentingnya sih? Orang lain dapat menilai. Suka tidak suka, manusia mempunyai kemampuan untuk saling menilai, dan nampaknya itu begitu natural terjadi. Sangat manusiawi. Kita cenderung untuk menilai karakter, perilaku orang lain. Tidak selalu berarti buruk, walau sayangnya lebih sering menjadi hal negatif. Penilaian dari orang lain ini menjadi penting dalam bagaimana mereka merespon terhadap tindakan kita. Bisa jadi mereka memilih mundur karena mereka “merasakan” dari penilaian mereka bahwa kita tidak tulus, atau menyebalkan karena mencari keuntungan sendiri.
Kita pasti juga pernah merasakannya. Saya sering merasakannya bahwa saya menilai tindakan orang lain tidak sepenuhnya tulus. Wah, tahu dari mana?
- Konsistensi – di saat ini dia A, saat lain dia B.
- Pemilihan kata – semakin dewasa, kita harus semakin peka terhadap pemilihan kata kita, karena itu mencerminkan pengetahuan dan kebijaksanaan kita.
- Bahasa tubuh – ada kalanya orang tidak meyakinkan karena bahasa tubuhnya. Misalnya, orang yang percaya pada apa yang ia katakan, menurut penelitian, sering menggunakan tangan ketika mendeskripsikan atau menjelaskan perkataannya.
- Nada bicara – orang yang meyakinkan “memilih” nada bicara yang meyakinkan pula
- Perilaku/sikap – sikap saat berbicara, atau berperilaku secara umum, apakah konsisten dengan pendapatnya.
Ada banyak cara untuk dapat “menilai” dan pada akhirnya kita bisa “merasakan”. Atau, bisa jadi ya hanya “merasakan” saja bahwa orang ini tidak tulus atau mempunyai maksud tersembunyi, atau tidak jujur.
Hal ini harusnya menjadi refleksi juga bagi kita, bahwa kita perlu menjaga diri, perkataan, tindakan, pikiran, hati kita, agar seluruhnya integrated. Di sini lah kata “integritas” itu muncul. Ketika kita tidak konsisten, apa bahayanya? Orang tidak memercayai kita. Padahal, landasan kepercayaan menjadi sangat penting dalam setiap relasi. Tanpa kepercayaan, tak ada relasi positif, tak ada kepemimpinan, tak ada masa depan. Dengan kepercayaan, hidup lebih baik, kita bisa berinovasi, dunia pun semakin maju.
Intention matters. Mari meniliki hati dan pikiran kita.