Beberapa waktu ke belakang, kita semua dibuat terkejut, sedih, gelisah, was-was, atau perasaan lainnya, dengan keberadaan virus Corona yang menjangkiti banyak orang di banyak negara. Di Indonesia sendiri, (per 13 Maret 2020 pukul 17.30), ada 69 orang yang positif menderita virus ini. Beberapa sembuh, beberapa meninggal.
Kita semua bersedih, dan walau berbeda-beda, kita mempunyai cara untuk merespon kondisi ini. Secara umum, ada banyak hal yang dilakukan tempat-tempat umum seperti rumah sakit, tempat ibadah, mal, dan sekolah. Misalnya di sekolah saya, kami menerapkan cek temperatur tubuh murid maupun staf, dan bagi mereka yang sedang kurang sehat dihimbau untuk menggunakan masker, atau jika cukup parah, dihimbau untuk beristirahat di rumah. Bagi mereka yang bepergian ke luar negeri (terutama negara-negara yang terinfeksi cukup banyak), diminta untuk tidak masuk sekolah selama 14 hari.
Tindakan serupa, saya tahu, juga dilakukan di berbagai tempat. Namun, bukan ini tujuan tulisan ini. Saya melihat dan merenungkan dampak dari keadaan ini. Sesuai juga surat edaran dari Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, institusi pendidikan dihimbau dan disarankan banyak hal. Secara khusus, mengenai sentuhan fisik (salaman misalnya), penggunaan alat makan atau alat lainnya secara bersama-sama, dihimbau untuk tidak dilakukan.
Di gereja saya, sementara ini “meniadakan” salaman, dan menghimbau untuk menggantinya dengan cara salam yang lain, seperti menaruh tangan kanan di dada sebelah kiri, mengatupkan kedua tangan, atau membungkukkan badan. Di berbagai tempat juga pembersihan lebih digalakkan, dengan menggunakan antiseptik atau juga sabun.
Banyak sekolah, termasuk sekolah saya, mencoba menerapkan e-learning, misalnya menggunakan platform seperti Google classroom, Edmodo, atau menggunakan aplikasi video conference tertentu seperti Zoom atau Google Meet, agar pembelajaran tetap dapat dilakukan, walau tidak bertatap muka secara langsung. Diharapkan, dengan dilakukannya ini, pembelajaran tetap dapat berlangsung dalam keterbatasan yang ada.
Pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri atau orang lain, mengenai kondisi ini, “Apa rasanya?”
Ketika merenungkan kondisi yang ada hingga detik ini, saya merasa ada yang aneh dengan tidak adanya hal-hal yang biasa dilakukan bersama. Salaman, mungkin cipika-cipiki, pelukan, berbagi makanan, aktifitas ruang, dan berbagai hal lainnya tidak dilakukan seperti biasanya. Bukannya tidak setuju itu ditiadakan demi mencegah penyebaran virus ini, tetapi seperti terada ada yang hilang. Rasanya, seperti tidak berinteraksi dengan manusia secara normal.
Di sini, saya merasa bahwa interaksi antarmanusia dengan tatap muka sangatlah penting. Bersentuhan pun penting (kecuali yang bukan muhrim). Semuanya, menurut saya, membuat kita menjadi manusia yang lebih utuh. Tidak terbayang jadinya bagi saya kalau kita semua berinteraksi secara digital saja, bertemu tapi tidak bersentuhan, mencuci tangan setiap setelah bersentuhan, dan sebagainya. Rasanya, manusia tidak lagi menjadi manusia.
Ini perenungan saya. Sembari, saya berharap bahwa tentunya kondisi ini akan semakin membaik secepatnya, dan semua bisa berjalan normal. Kita bisa bermain dengan anak dan teman dengan tenang, berinteraksi sewajarnya, mensyukuri dan memanfaatkan pertemuan tatap muka dengan sebaik-baiknya. Sekaligus, saya pun merenungi manfaat teknologi yang seringkali “terlalu” diagungkan sehingga mengurangi atau bahkan menghilangkan interaksi dan relasi yang utuh dan penuh antarmanusia.
Selamat berjuang melawan virus, selamat merayakan kehidupan.