Sekitar 1-2 minggu belakangan ini, kita diperhadapkan pada situasi yang sangat tidak menyenangkan, yaitu merebaknya penyebaran virus Corona. Akibatnya, di beberapa daerah, seperti DKI Jakarta, Banten, dan Bekasi, sekolah (atau tepatnya kegiatan belajar mengajar di sekolah) dihentikan salama kurang lebih 14 hari.
Sekolah saya pun terkena dampaknya, anak-anak diminta belajar di rumah pada tanggal 16-30 Maret. Saya teringat, dulu di masa SD, ketika libur selalu diistilahkan dengan “belajar di rumah”, sekarang ini benarlah memang anak diminta belajar di rumah. Bukan liburan.
Sektor pendidikan menjadi salah satu sektor yang terdampak cukup signifikan, menurut saya, akibat dari penyebaran virus Corona di Indonesia. Sekolah dan perguruan tinggi diminta menjalankan online learning (distance learning, e-learning, home-based learning, atau apapun itu namanya) untuk memastikan pembelajaran tetap dapat berlangsung walaupun murid dan guru tidak bertemu secara fisik di suatu tempat.
Saya tidak mau membahas tantangan atau kendala yang dihadapi berbagai orang ketika diberlangsungkannya kebijakan ini. Hal itu menjadi tantangan yang memang tidak bisa terhindarkan, dan sekaligus menjadi refleksi dan evaluasi bagi berbagai pihak terkait, termasuk pemerintah, untuk meningkatkan sarana dan prasarana yang ada agar memang hal ini dimungkinkan terjadi dengan baik.
Bagi saya pribadi, hal ini menjadi pembelajaran tersendiri. Saya tidak pernah benar-benar membayangkan harus mengajar matematika secara online. Apakah Anda bisa membayangkannya? Huff. Rasanya kok sulit ya, karena sebagai guru matematika, saya lebih menikmati menulis di papan dan berdiskusi secara langsung (tatap muka) dan melihat hasil pekerjaan anak yang juga berupa tulisan (terlebih lagi saya mengajar SMA, yang mana pilihan ganda bukanlah menjadi soal yang baik untuk diberikan, dan itu sangat sulit dilakukan melalui platform online apapun). Terasa tidak mudah untuk membawa semuanya itu secara digital.
Memang ini baru di minggu pertama kegiatan ini dilangsungkan. Namun, dalam keterbatasan yang ada, saya belajar menikmatinya. Terbatas? Tentu. Tidak mudah untuk melihat pekerjaan anak murid saya secara langsung. Paling penting, perlunya ada inisiatif dan motivasi kuat dari sang murid.
Di sini saya merasa bersyukur juga. Belajar memang tidak mudah, terlebih di masa sekolah di mana, jujur saja, banyak dari kita yang “dipaksa” padahal bukan ini yang kita pilih. Menemukan motivasi untuk menikmati belajar dan menekuninya di saat “belajar di rumah” tidaklah mudah. Namun, saya bersyukur karena murid-murid saya tetap rela menjalaninya (mungkin saja ini karena mereka akan mau ujian sih, tapi ya oke lah). Semoga murid-murid lain pun demikian.
Ditambah lagi, sebenarnya momen ini menjadi momen yang baik bagi anak untuk belajar mandiri. Mengapa? Mungkin, selama ini mereka terlalu sering “disuapi” oleh gurunya. Dikit-dikit nanya. Tanya pada teman, tanya pada guru. Sekarang, saya meminta mereka untuk belajar juga bertanya pada Google. Ada banyak sumber informasi berupa video dan artikel yang mereka juga bisa telusuri untuk menemukan hal yang mereka cari, dan di sana mereka belajar untuk berpikir secara mandiri. Hal yang menjemukkan bukan? Bertanya sendiri, mencari sendiri, berpikir sendiri.
Tentu, itu bukan hal mudah untuk dilakukan, ketika semua tiba-tiba harus dilakukan. Namun, justru di situ lah saya bersyukur, karena saya “terpaksa” belajar untuk lebih menahan diri, dan murid “terpaksa” belajar lebih mandiri.
Apapun itu, kondisi ini memang bukanlah kondisi ideal. Tidak ada yang berharap ini akan terus berlangsung, walau ada banyak hal positif dibaliknya. Kita semua berharap hidup kita kembali normal, dan dapat berkarya seperti biasanya. Ditambah dengan pengalaman saat ini yang dimiliki, itu semua memperkaya kehidupan dan karya kita.
Selamat belajar di kala sulit ini, mari terus berefleksi dan mengambil hikmah di balik setiap hal yang kita alami.
Dibalik kegelapan, selalu ada terang. Habis gelap, terbitlah terang.