Minggu ini menandai minggu ke-4 dari perjalanan Home-Based Learning, atau belajar dari rumah di sekolah saya. Sejak sekitar 2 minggu yang lalu, beberapa murid saya mulai mengekspresikan kebosanan mereka karena berada di rumah sepanjang hari tanpa mereka dapat berbuat apa-apa, selain belajar. Mereka harus mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ, atau distance learning), mungkin melalui konferensi video, atau sebatas mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru masing-masing, atau tugas lainnya. Mereka diminta untuk menyelesaikan tugas-tugas tepat waktu seperti biasanya, dan mungkin mengerjakan lembar kerja atau penilaian lainnya. Perbedaannya, saat ini mereka tidak dapat pergi ke mana pun untuk bersantai atau bertemu dengan teman mereka.
“Daripada di rumah seperti ini, saya lebih mending pergi ke sekolah.”
“Saya kangen sekolah, sir.”
“Cape banget di rumah sepanjang hari. Lebih parah lagi, papa saya mengharuskan saya belajar setiap hari.”
Jujur saja, saya tidak terlalu yakin ketika mereka mengatakan bahwa mereka kangen sekolah (atau kangen ada di sekolah). Maksud saya, marilah kita jujur. Kita tahu bahwa banyak murid sebenarnya tidak terlalu menyukai kehidupan mereka di sekolah. Walaupun begitu, kita pun tahu ada murid-murid yang memang suka bersekolah. Kemungkinan, alasan utama dan umum yang murid-murid ini katakan adalah bahwa mereka tidak bisa berbuat apa-apa di rumah. Coba saja kalau mereka bisa pergi ke liar dan melakukan apapun selain sekolah atau belajar, sangat mungkin mereka tidak akan kangen sekolah.
Saya mengatakan hal ini kepada beberapa murid saya ketika kami melakukan kelas daring (online class), dan beberapa setuju dengan perkataan saya. Mungkin saja kalau di masa libur, mereka merindukan sekolah setelah sekitar 1 atau 1,5 bulan berlibur. Namun, dalam kondisi saat ini.. ya beginilah.
Walau begitu, katakanlah bahwa kita memang kangen bersekolah. “Kita” merujuk pada to murid, guru, and mungkin juga orang tua. Apa yang sebenarnya kita rindukan dari sekolah? Dan… bisa jadi bukan hanya sekolah. Mungkin juga kita merindukan tempat kerja kita, pabrik, kantor, mal, atau lainnya. Sekali lagi, apa yang sebenarnya kita rindukan?Apa yang Anda rindukan? Apa yang Anda cari?
Saya mempunyai daftar dari beberapa hal yang mungkin kita rindukan:
- Ngobrol dengan teman atau rekan kerja,
- Rapat atau diskusi,
- Canda dan tawa,
- Interaksi sosial,
- Sentuhan fisik (peluk, tos, salaman, dll),
- Gerakan tubuh,
- Idola dan setiap aksinya,
- Fleksibilitas dalam diskusi,
- Melihat wajah dan bahasa tubuh orang lain,
- Tindakan kebaikan.
Kita dapat menambah panjang daftar tersebut. Namun, inilah kesimpulan saya. Mungkin kita tidak dapat mengeneralisasi ini. Hal yang kita sangat rindukan dari apa yang biasanya kita lakukan mungkin bukan pekerjaannya, walau mungkin ada yang memang merindukannya. Namun, pasti kita merindukan interaksi sosialnya. Kita merindukan koneksi sosialnya. Baik itu teman, murid, kolega, dan bahkan atasan kita. Kita merindukan “sentuhan”, tawa, wajah, tindakan kebaikan mereka. Kita merindukan hal-hal ini, dan sebagai manusia, kita tidak dapat menyembunyikan perasaan itu. Inilah makna dibalik daftar “kegiatan” tersebut.
Seperti yang Simon Sinek katakan, “Manusia adalah hewan sosial.” Hal-hal di atas adalah perilaku bawaan. Entah mengapa, kita merasa menjadi “kurang manusia” ketika kita tidak dapat mengalami hal-hal tersebut. Mungkin terlalu ekstrim, tetapi mungkin juga benar.
Sabtu yang lalu, saya membaca story di Instagram mantan murid saya. Di sana, ia mengekspresikan bagaimana ia berubah karena karantina “di rumah aja” yang dilakukan ini. Dia menjadi kurang sosial dibanding biasanya (padahal ia seorang ekstrover) dan cenderung untuk tidak membalas chat dari teman-temannya, bahkan termasuk teman-teman dekatnya. Dia mengatakan bahwa ia hanya berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di lingkaran dalamnya (inner circle).
Ini mungkin salah satu contoh yang agak “parah” atau “ekstrim”, tetapi hal ini tidak terhindarkan, dan walau kita tidak mengetahuinya, mungkin ada banyak orang di luar sana yang mengalami hal serupa.
Saya sendiri seorang introvert. Sangat introvert. Jadi, yah mungkin Anda tahu.. saya sangat tidak masalah untuk berada di rumah sepanjang hari seperti saat ini. Namun, istri saya seorang ekstrovert dan Anda dapat mengetahui dari perilakunya bahwa ia jauh lebih menikmati waktu di saat kami perlu mengunjungi rumah orang tuanya, atau ketika ia harus pergi ke sekolah untuk syuting video untuk keperluan sekolahnya.
Kita tidak dapat menyembunyikannya. Tubuh kita bereaksi terhadap kondisi kita. Salah satu murid saya juga mengatakan bahwa ia merasa sakit (tidak enak badan) karena ia tidak dapat berinteraksi dengan orang lain di luar anggota keluarganya. Ia mengatakan bahwa ia membutuhkan interaksi sosial.
Ketika kita kembali ke kehidupan “normal”, mari kita memastikan bahwa kita tidak meremehkan atau mengabaikan berharganya interaksi sosial. Mari kita menghargai hal-hal kecil yang berhaga tetapi mungkin kita lewatkan. Mari kita mengembalikan interaksi sosial yang kita rindukan.
Mari kita memberikan “sentuhan” lebih lagi pada sesama (bukan berarti benar-benar sentuhan fisik ya, maksudnya sentuhan inspirasi.) Mari kita menjabat tangan rekan kerja kita, teman, kerabat, atau murid kita. Mari ktia menikmati lelucon yang teman kita buat, betapapun aneh dan bodohnya lelucon itu. Mari kita menghormati ceramah atau perkataan bos kita. Mari kita memeluk hangat teman atau rekan kita (kalau mungkin ya!) Mari kita mengekspresikan rasa hormat, bangga, dan kasih kepada mereka.
Mari kita menjadi manusia sejati yang menghargai relasi, interaksi sosial, dan koneksi sosial. Mari kita menunjukkan kebaikan dan membuat setiap interaksi sosial bermakna.
Mari kita menginspirasi dunia melalui setiap tindakan kita. 😊