“Apa yang mendorong terciptanya inovasi, kreativitas, pengetahuan baru?”
“Apa yang menyebabkan dunia semakin berkembang maju?”
“Apa yang menyebabkan orang berubah?”
Anda tidak harus setuju dengan saya. Namun, dalam refleksi saya pribadi, saya merasa bahwa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut mengerucut pada satu hal yang sama. Curiosity. Keingintahuan. Keingintahuan ini tidak terlepas dari pertanyaan.
Sebagai orang tua ataupun pendidik, kita mungkin seringkali telah menyaksikan atau merasakan sendiri di mana anak atau anak didik kita memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada kita. Kadang kala, atau seringkali, pertanyaan-pertanyaan mereka “memojokkan” kita sehingga kita tidak tahu harus pergi ke mana karena kita tidak “mampu” untuk memberikan jawaban yang dirasa memuaskan.
Dalam refleksi saya sebagai guru, saya merasa bahwa ada 2 (dua) pertanyaan menakjubkan yang baik saya maupun murid-murid saya tanyakan. “How?”, atau bagaimana, dan “why?”, mengapa. Kedua pertanyaan inilah yang membawa saya pada siapa diri saya sekarang dengan setiap karya dan pekerjaan yang saya lakukan dan nikmati.
Tulisan saya minggu lalu menyuarakan keluh kesah saya terhadap betapa “mudahnya” menjadi seorang guru matematika. Paling tidak, saya membutuhkan waktu sekitar 5 tahun hingga akhirnya saya mendapatkan jawaban yang cukup memuaskan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang saya pikirkan berulang kali:
“Mengapa belajar matematika itu begitu sulit?”
“Bagaimana belajar matematika yang sesungguhnya?”
Kedua pertanyaan ini lah yang, sadar maupun tidak, saya tanyakan berulang-ulang. Saya terus berusaha mencari jawabannya dalam karier saya. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya baru pertama menemukan jawabannya pada tahun 2017 ketika saya mengikuti seminar atau workshop yang dibawakan oleh Dr. Yeap Ban Har. Beliau adalah seorang guru, konsultan, ahli matematika dari Singapura yang berpengalaman mengajar dan melatih guru dalam bidang studi matematika selama bertahun-tahun. Beliau sendiri mengikuti pendidikan untuk menjadi guru di masa tahun 90an dengan konsep mengajar matematika yang tidak “tradisional”.
Apa yang saya maksud dengan “tradisional”. Coba kita renungkan dan ingat, atau lihat, bagaimana guru mengajar? Apa yang pemerintah coba gembar-gemborkan bertahun-tahun belakangan ini?
- Cara mengajar dan belajar kreatif (creative teaching and learning strategies).
- Pembelajaran kontekstual (contextual learning)
- Pembelajaran yang terpusat pada murid (student-centred learning)
- Pembelajaran tingkat tinggi yang merangsang berpikir kritis, logis, kreatif (creative, logical, critical thinking)
Beliau mematahkan stigma, sekaligus menginspirasi banyak orang bahwa matematika bisa dipelajari dan diajarkan dengan menarik, bahkan tanpa permainan (game) sekalipun! Apa yang beliau lakukan pada dasarnya adalah mengajar dengan menggunakan teori belajar dan mengajar dengan fokus pada esensi matematika.
Pada Desember 2019, sekali lagi saya mengikuti seminar yang beliau bawakan, dan sekali lagi saya dibuat semangat dan terinspirasi. Dari sana, saya mempertanyakan, “Bagaimana agar saya bisa seperti beliau?” Sejak itu, mulailah perjalanan pencarian saya yang akhirnya membawa saya pada buku Mathematical Mindsets, karangan Jo Boaler, dan kursus daring How to Learn Math for Teachers dari Stanford University. Saya sangat bersyukur karena apa yang saya pelajari dari kedua sumber ini sangat amat sejalan dengan apa yang dibawakan oleh Dr. Yeap Ban Har dalam setiap workshop-nya.
Poin menarik yang disuarakan ketiga sumber belajar ini adalah bahwa kelas atau pelajaran matematika kehilangan apa yang menjadi esensi atau jantung dari pembelajaran matematika itu sendiri. Esensinya pasti memengaruhi bagaimana kita memelajari dan mengajarkan matematika. Hal-hal yang saya tidak pernah pelajari sebelumnya. Aspek yang ditinggalkan atau diabaikan guru dan orang tua, yang pada akhirnya lebih mementingkan nilai prestasi akademik, daripada esensi matematika sesungguhnya.
Ada 5 (lima) aspek yang menjadi esensi pembelajaran matematika, jika visinya adalah menciptakan dunia yang mencintai dan menikmati matematika dan mendapatkan manfaat positif darinya. Berikut ini saya bagikan sedikit pemahaman saya dari berbagai sumber yang telah saya pelajari:
- Meta-kognisi (meta-cognition)
“Think how to think”, itulah makna dari meta-kognisi. Berpikir bagaimana caranya berpikir. Bagi kita yang senang atau suka berpikir, kita secara alamiah mungkin tidak merasakan pentingnya hal ini. Namun, studi ilmiah menunjukkan bahwa berpikir bisa dilatih, dan melatih proses dan cara berpikir itu sangat penting! Salah satu caranya adalah dengan melatih anak menyelesaikan masalah dalam bentuk cerita (soal cerita). Kita akan mengetahui bagaimana cara berpikirnya, dan kita dapat melatihnya juga untuk mempunyai cara dan urutan berpikir yang tepat. - Pemahaman/penalaran bilangan (number sense)
Bagian ini mungkin sesuatu yang asing bagi banyak dari kita, atau paling tidak bagi saya. Namun, ternyata saya melakukannya selama ini. Dari buku yang saya baca (Mathematical Mindsets, Jo Boaler) dan kursus daring yang saya ikuti (How to Learn Math, youcubed.org, Stanford University), disebutkan bahwa pemahaman bilangan begitu penting, bahkan keterampilan matematika itu berangkat dari pemahaman bilangan yang mumpuni.Contohnya seperti apa? Perhatikanlah gambar berikut.
Saya menggunakan bilangan 80 dan 16 karena menurut saya kedua bilangan tersebut masing-masing dapat dengan mudah dibagi dengan 8. Boleh pakai angka lain? Tentu! Kuncinya, cari dan gunakan yang mudah. - Visualisasi (visualization)
Jo Boaler, seorang profesor dari Stanford University pada bidang matematika, mengatakan bahwa setiap konsep matematika dapat divisualisasikan. Saya pun ragu sebenarnya. Paling tidak untuk saat ini, saya mengatakan tidak setuju. Mengapa? Ada konsep-konsep di matematika seperti ruang dimensi 5 yang tidak bisa digambarkan. Atau mungkin bisa, tetapi saya tidak tahu. Entahlah. Namun, saya melihat bahwa memang banyak sekali konsep matematika yang bisa divisualisasikan, entah itu dalam bentuk diagram, grafik, gambar. Misalnya, kita dapat memvisualisasikan perkalian bilangan seperti pada contoh gambar-gambar berikut.
- Komunikasi (communication)
Ini mungkin adalah satu aspek yang paling sering terabaikan, paling tidak menurut saya. Buat apa komunikasi? Bukannya matematika itu persoalan jago berhitung? Nah, itu lah miskonsepsinya. Matematika sebenarnya bukan soal jago menghitung, tetapi soal reasoning, berpikir dan mencari alasan dibalik ide-ide yang kita temukan atau tawarkan.Bagaimana mengajarkan komunikasi pada matematika? Fasilitasi anak-anak untuk mencoba meyakinkan diri dan orang lain akan alasan, penjelasan, atau pembuktian dari suatu ide. Misalnya, kita bisa meminta anak mencari penjelasan mengapa 1 : 2/3 = 3/2, bukan “hanya” menghafal prosedur atau aturan mengerjakannya. Ketika anak belajar memvisualisasikan dan saling meyakinkan alasannya, mereka belajar berkomunikasi. - Generalisasi (generalization)
Bagian ini mungkin bagian yang menurut saya paling menarik dari belajar matematika. Kita seringkali salah kaprah menganggap bahwa matematika itu jago berhitung, dan selama kita hafal rumus, kita pasti bisa. Kenyataannya, riset menunjukkan bahwa mereka yang memilih menghafal rumus adalah mereka yang tidak mempunyai keterampilan matematika yang baik. Ini menjadi aspek penting karena kita belajar untuk menemukan pola dari apa yang kita pelajari dan menggunakan pola tersebut secara lebih umum, yang kemudian dalam beberapa contoh kita sebut sebagai rumus.
Pada prinsipnya, kelima esensi pembelajaran matematika yang saya sebutkan berangkat dari pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”. Ketidakpuasan dan keingintahuan lebih lanjut terhadap apa yang kita pelajari dan kita ajarkan kepada murid dapat membawa kita ke tingkat yang lebih tinggi. Bukan karena kita cerdas atau pintar matematika dari sononya.
Saya bukan orang yang mudah puas dengan apa yang saya terima. Kritis, kalau kata orang. Saya tidak puas kalau tidak bisa memahami dan menjelaskan dengan rinci. Demikian juga generasi saat ini bukan? Banyak guru dipusingkan oleh murid yang enggan belajar karena mereka tidak paham mengapa. Itulah tugas kita sebagai guru, untuk terus belajar untuk kemudian menolong orang/murid mengeksplorasi pelajaran, agar kemudian mereka menikmati esensinya.
Pada tulisan saya berikutnya, saya akan coba membagikan beberapa strategi lebih detil bagaimana dapat menolong dan memfasilitasi murid atau anak kita dalam belajar matematika. Hal yang perlu diketahui adalah bahwa ide-ide yang saya bagikan berasal dari sumber-sumber yang saya pelajari.
Kembali kepada bagian awal tulisan ini. Menarik bukan bagaimana pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” telah membawa saya pribadi melangkah begitu jauh, dari posisi di mana saya tidak paham bagaimana cara mengajar matematika dengan baik kepada posisi di mana saya belajar begitu banyak hal untuk mengajar matematika dengan efektif. Karena itu, khususnya bagi para guru dan orang tua, Jangan pernah menyerah dan teruslah bertanya dan mencari jawaban atas pertanyaan terus.
Semangat belajar! 😊
Benar-benar mencerahkan tulisannya. Sangat recommended buat dibaca guru dan juga masyarakat secara umum. Saya biasanya gak lama kalau baca tulisan seperti ini pak, tapi yang bapak paparkan justru membuatnya khawatir jangan sampai ada 1 kata pun yang terlewatkai. Salute!
LikeLike
Terima kasih banyak apresiasinya dan bersyukur bisa bermanfaat Pak. Iya juga memang panjang tapi bingung juga krn byk yg ingin dibagikan. Semoga bisa jadi berkat buat lebih banyak orang.
Semangat belajar! 😀
LikeLiked by 1 person