Untuk memulai tulisan ini, izinkan saya bertanya pada kita semua,
“Apa yang paling memengaruhi pencapaian/prestasi pendidikan seseorang?”
Kurikulumnya? Pengajar atau pendidiknya? Lingkungannya? Sumber belajarnya? Atau yang lain?
Tentunya pilihan-pilihan tersebut memengaruhi prestasi seseorang. Namun, pertanyaannya, apa yang paling memengaruhi prestasi pendidikan seseorang? Banyak dari kita mungkin bisa menjawab “lingkungan belajar” atau “pendidiknya”. Namun, kita mungkin seringkali melupakan keberadaan diri orang yang belajar, sang peserta didik itu sendiri.
Kita harus ingat bahwa yang menikmati prestasi belajar, yang mendorong untuk bisa mencapai prestasi tertentu adalah diri orang tersebut. Betapapun hebatnya sang guru, betapapun baiknya kurikulum yang ada, atau lingkungan belajar bagaimanapun kondusifnya, apalah artinya tanpa motivasi yang tepat? Apalah artinya jika kita tidak mempunyai mimpi? Apalah artinya jika kita tidak yakin pada diri kita sendiri?
Saya sendiri merasakan bahwa, paling tidak, sejauh saya melalui proses pendidikan di Indonesia hingga saya menjadi guru, hal ini beberapa kali ditekankan, tetapi jarang dibahas secara umum. Baru-baru ini, saya memelajari hal yang sebenarnya tidaklah baru di dunia pendidikan. Bahkan, kita bisa cukup mudah menemukannya di dunia pengembangan diri dan bisnis (pertama kali diperkenalkan oleh Carol Dweck, seorang psikolog). Growth mindset. Pola pikir pertumbuh.
Apa itu growth mindset? Singkatnya, ini adalah keyakinan dan cara pikir bahwa seseorang bisa terus belajar dan bertumbuh. Terlepas dari apa tantangannya, kita dapat terus bertumbuh. Sebaliknya, fixed-mindset, pola pikir tetap, merujuk pada keyakinan dan cara pikir bahwa seseorang hanya memiliki kemampuan yang tetap dan tidak akan berubah. Mudahnya, lihat saja gambar berikut ini.
Implikasi dari pola pikir sangatlah besar. Mereka yang memiliki fixed-mindset akan sulit (atau tidak akan) bertumbuh dan menjadi lebih baik. Ketika bertemu tantangan dan rintangan, mereka cenderung menyerah, karena mereka merasa kepayahan dan tidak akan berhasil. Sebaliknya, mereka yang mempunyai growth-mindset akan terus merasa bahwa mereka bisa belajar apapun selama ada waktu dan usaha yang cukup. Mereka melihat tantangan, rintangan, dan bahkan kegagalan sebagai ruang dan kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi.
Selama saya di sekolah, baik sebagai murid maupun sebagai guru, belum pernah sekalipun saya mendengar hal ini dibahas dan dibagikan kepada para murid. Padahal, ini adalah konsep yang sangat penting, khususnya dalam hal pendidikan.
Sebagai guru matematika, sangat sering saya mendengar keluhan dan curhatan murid yang mudah sekali menyerah. Mereka mudah mengalah terhadap kesulitan dan tantangan pelajaran matematika. Entah apa sebabnya, tetapi ketika mendapati soal yang sulit, mereka cenderung menyerah. Kalaupun harus mencoba, itu karena terpaksa (entah dipaksa gurunya atau orang tuanya atau keadaan). Namun, tidak ada yang berubah dari perasaan dan pola pikir mereka sendiri terhadap pelajaran ini.
Sebelum kita masuk jauh dalam bagaimana belajar matematika yang baik, pola pikir menjadi hal yang sangat penting untuk dibenahi. Matematika merupakan bidang studi yang paling sering dirasa menyulitkan dan menantang dan membuat orang memiliki fixed-mindset. Karena itu, penting bagi guru matematika secara khusus, tetapi juga pendidik dalam bidang apapun, untuk membangun kultur kelas dan lingkungan belajar yang menumbuhkan growth-mindset ini.
Bagaimana caranya? Sebagai pendidik, setiap hal yang kita lakukan terhadap anak didik kita akan dinilai oleh mereka, dan kita harus memastikan bahwa segala hal yang kita lakukan – cara mengajar, tugas yang diberikan, dan asesmen – konsisten dengan prinsip growth-mindset ini. Ketiga poin ini akan saya bahas di tulisan-tulisan mendatang. Namun, selain itu bagaimana? Tentunya melalui pembentukan lingkungan belajar dan interaksi sehari-hari.
Beberapa yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan growth-mindset pada anak didik kita:
- Teladan.
Ini mungkin salah satu bagian terpenting yang perlu kita jalani, baik sebagai pendidik, orang tua, maupun pemimpin. Seringkali kita meminta tetapi tidak menjadi teladan positif. Bagaimana caranya menjadi teladan yang baik? Bisa melalui perkataan, perbuatan, maupun cerita pengalaman hidup kita. Sebagai seorang yang mempunyai tingkat otoritas lebih tinggi dari anak didik kita, seringkali kita mungkin merasa malu dan gengsi apabila kita melakukan kesalahan atau jika kita gagal. Wajar memang, karena kita perlu menjaga kredibilitas. Namun, di sisi lain, kita juga perlu merangkul kesalahan dan kegagalan itu, dan bahkan menceritakannya kepada anak didik kita. - Apresiasi dan pujian terhadap usaha/proses, bukan terhadap hasil/inteligensi/talenta.
- Menghargai kesalahan dan kegagalan.
Kenyataannya, orang-orang sukses di dunia adalah mereka yang pernah melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan, dan belajar darinya. Mengapa kita mengajarkan anak didik kita untuk menghindari kesalahan dan mengejar kesempurnaan?
- Memasang berbagai kalimat positif di dinding yang terkait dengan pesan growth-mindset.
- Mengajarkan bahwa otak kita bertumbuh ketika kita gagal (menggunakan hasil penelitian).
Penelitian menunjukkan bahwa otak manusia mempunyai kemampuan untuk terus bertumbuh. Kita bisa menggunakan berbagai contoh hasil penelitian yang telah menunjukkan fakta tersebut. Misalnya, penelitian tentang taksi Black Cab London. - Menggunakan aktivitas tertentu untuk mengajarkan ide growth-mindset.
Dalam bukunya, Mathematical Mindsets, Prof. Jo Boaler membagikan satu cara menarik yang dilakukan seorang guru matematika. Guru tersebut meminta anak muridnya untuk meremas sebuah kertas putih sehingga berbentuk bola kertas, lalu melemparnya sekencang mungkin. Setelah itu mereka diminta mengambil kertas mereka masing-masing, lalu mewarnai garis-garis kerutan yang terbentuk. Di akhir aktivitas tersebut, guru tersebut memberikan pesan bahwa garis-garis kerutan tersebut adalah sinapsis yang terbentuk di otak mereka ketika mereka belajar matematika, khususnya ketika mereka melakukan kesalahan atau kegagalan.
Dalam hal pelajaran matematika, sangat mudah bagi seseorang untuk memiliki fixed-mindset karena betapa sulit dan menantangnya pelajaran ini. Selain itu, pesan-pesan yang kurang tepat yang diberikan guru atau orang tua juga sangat berpengaruh, misalnya pujian “kamu pintar” yang tidak seharusnya kita berikan. Atau, saran-saran semacam “tidak apa kamu tidak bisa matematika, mungkin kamu jago di bidang lain,” atau “Mama juga tidak bisa kok, jadi tidak apa kalau kamu tidak bisa.” Artinya, kita pun juga harus mempunyai growth-mindset terlebih dahulu sambil juga mendidik anak kita untuk memiliki pola pikir bertumbuh ini.
Bagi saya sendiri pun ini hal menarik dan baru. Tidak mudah untuk menerapkannya karena mungkin sudah sangat terbiasa dengan cara mengapresiasi atau memuji lama atau cara menghibur yang lama. Namun, saya bertekad berubah demi masa depan anak didik saya, demi masa depan dunia.
Sekarang, apa yang Anda mau coba lakukan? Selamat merenungkannya. 😊