“Put yourself in my shoes”
Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar atau menggunakan istilah/idiom Bahasa Inggris tersebut ketika kita berelasi dengan orang lain. Apa maknanya? Idiom ini berarti bahwa kita meminta orang lain untuk menempatkan diri pada kondisi atau keadaan yang sedang kita alami atau rasakan agar orang tersebut dapat mengerti, memahami, atau berempati terhadap perspektif, pendapat, atau cara pandang kita.
Menurut Anda, seberapa penting pengaplikasian idiom ini dalam kehidupan kita sehari-hari? Bukan masalah menggunakannya dalam percakapan, tetapi dalam kita bersikap dan berperilaku di tengah masyarakat.
Ketika kita berbicara soal relasi dan kepemimpinan, hal ini tidaklah terelakkan. Seringkali kita membahasakannya dengan istilah “empati”. Empati seringkali dinyatakan sebagai karakteristik paling mendasar yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin. Bahkan, mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mengatakan bahwa empati adalah kualitas karakter yang dapat mengubah dunia. Ini menunjukkan bahwa berempati menjadi karakteristik yang sangat penting dimiliki oleh setiap orang, terlebih lagi pemimpin.
Lalu, apa hubungannya dengan pendidikan?
Jelas sangat berkaitan. Berapa sering kita melihat orang yang gagal berempati terhadap orang lain? Berapa banyak kita melihat orang di sekitar kita yang sulit untuk berempati terhadap sekitarnya? Ini menunjukkan betapa sulitnya berempati. Karena itu, kualitas ini perlu dididik. Itu perlu dilatihkan, sejak dini.
Masa pendidikan formal (sekolah, kuliah) menjadi masa yang penting bagi seseorang untuk belajar berempati terhadap orang lain, selain tentunya di keluarga dan karier. Di sana lah seseorang mulai dan terus belajar untuk berempati terhadap temannya, bahkan terhadap gurunya. Momen pendidikan formal menjadi momen penting bagi perjalanan pendidikan karakter seseorang karena di sana kita berinteraksi dan berelasi dengan berbagai tipe orang, yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai.
Ketika kita berinteraksi dengan teman dekat kita atau orang yang kita sukai, tentunya lebih mudah berempati. Namun, dengan yang tidak kita sukai, hm.. mungkin.. jangan harap kita berempati.
Sebagai pendidik, saya bertanggungjawab untuk mendidik anak-anak murid saya untuk dapat belajar berempati dan menghargai keberadaan orang lain. Guru matematika? Yakin? Bagaimana caranya? Ceramah? Nasihat?
Tentu saja ceramah atau nasihat jadi jalan yang dapat digunakan. Namun, saya juga dapat menggunakan pembelajaran di kelas untuk menciptakan suasana belajar untuk mereka belajar saling menghargai dan berempati, bahkan dalam kondisi daring (online) sekalipun.
Belajar matematika sangat sarat dengan belajar memahami konsep dan mengerjakan soal-soal matematika yang sangat bersifat penyelesaian masalah (problem-solving). Hal ini sebenarnya menarik. Mengapa? Karena sangat mungkin untuk menyelesaikan suatu masalah dengan menggunakan banyak cara. Inilah porsi di mana saya bisa mengajarkan anak-anak untuk saling menghargai pendapat, pandangan,alasan, dan berusaha melihat dan menerima cara pandang orang lain. Singkatnya, mengajarkan anak berempati.
Daripada banyak omong, lebih baik saya berikan contohnya. Perhatikan soal matematika berikut, dan coba pikirkan bagaimana cara menemukan jawabannya.
14 × 18 = ?
Perhatikan beberapa jawaban berikut.
Bayangkan bagaimana jika kita menjadi gurunya. Apa yang Anda akan tanyakan kepada murid-murid Anda? Di awal? Di setiap kali ada alternatif solusi?
Ini adalah beberapa model pertanyaan dan pernyataan yang pernah saya gunakan ketika memfasilitasi belajar anak ketika mengerjakan satu soal matematika:
- Coba pikirkan baik-baik, menurutmu bagaimana cara menemukan jawaban dari 14×18?
- Apakah ada yang dapat menemukan cara atau metode lain?
- Bagaimana mengerjakan soal ini dengan cara yang lain?
- Bagaimana kalau kita gambar/visualisasikan?
- Bagaimana cara memvisualisasikan perkalian?
- Wah cara yang kamu gunakan menarik. Bagaimana kamu bisa terpikir seperti itu? Apa yang kamu lakukan?
Kalau anak-anak sudah cukup kreatif, tentunya akan lebih mudah untuk mendorong mereka berpikir lebih jauh dan mendapatkan jawaban lain. Kalau tidak, berarti kita mempunyai pekerjaan lebih berat untuk membentuk kultur itu di kelas kita dan anak-anak murid terbiasa untuk melihat dengan berbagai cara berbeda.
Di saat mereka memberikan jawaban-jawaban berbeda, di situ lah peran kita untuk menghargai dan menjadi teladan untuk menghargai setiap pandangan yang berbeda. Anak-anak pun juga jadi bisa belajar bahwa mempunyai perspektif berbeda itu wajar dan boleh, dan kita perlu menghargai pandangan orang lain dan bahkan berusaha mengerti mengapa orang mempunyai cara pikir yang berbeda.
Sepatu yang kita pakai belum tentu sama, bahkan ketika mereknya maupun ukurannya sama sekalipun. Setiap orang mempunyai bias yang dapat membentuk perspektif dan cara pikir yang berbeda, dan kita perlu belajar berempati dan menghargainya, sama seperti kita mendidik anak-anak saling menghargai dan menghormati di kelas.
Seberapa jauh kita menempatkan diri kita di posisi orang lain?
Selamat belajar, selamat berempati. 😊