Kekuatan di dalam Kelemahan

Apa rasanya menjadi seseorang yang mempunyai banyak kelemahan? Lemah secara fisik? Jasmani? Mental? Spiritual? Tidak punya banyak keterampilan? Atau hal-hal lainnya?

Jika kita belum pernah merasakannya sedikit pun, coba bayangkan sejenak jika kita menjalani kehidupan kita (pekerjaan, kehidupan keluarga, dll) dengan tanpa kekuatan atau kelebihan yang kita miliki saat ini: kecerdasan, kecekatan, emosi positif, rasa syukur, dan lainnya. Apa yang kita bayangkan? Apa yang kita rasakan?

Menjadi pribadi yang mempunyai kelemahan tentunya tidak terhindarkan, tetapi begitu banyak orang berusaha sedemikian rupa untuk mengurangi, meminimalkan, atau bahkan menghilangkan kelemahan mereka. Nyatanya, setiap manusia pasti mempunyai kelemahan, sekecil apapun itu.

Mungkin, kita bukan seseorang yang pandai bicara di depan banyak orang. Mungkin, kita bukan orang yang cekatan dalam bekerja atau membutuhkan waktu lama untuk memikirkan sesuatu untuk kemudian menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Mungkin, kita mudah kuatir Ketika membicarakan masa depan, apalagi  jika terkait keuangan. Mungkin, kita tidak terampil dalam berolahraga atau memasak. Mungkin, kita mengidap OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Mungkin … masih banyak kemungkinan kelemahan lainnya yang seseorang miliki.

File:Strength and Weakness.svg - Wikimedia Commons

Namun, kita tidak perlu bersedih dengan kelemahan kita. Mengapa? Kenyataannya, demikianlah manusia itu secara hakekat. Kelemahan dan kekuatan secara menarik, sederhana, dan juga kompleks bergabung untuk membuat diri kita menjadi pribadi yang utuh. Justru, kelemahanlah yang menjadikan seorang manusia lebih utuh.

Lebih jauh lagi, saya merasakan juga bahwa di dalam kelemahan, saya menemukan kekuatan. Hal ini benar dan nyata adanya, baik dalam pemaknaan spiritual (dalam kepercayaan saya kepada Tuhan) maupun dalam hal yang lebih praktis dalam hidup sehari-hari.

Saya bukanlah orang yang bisa disebut kreatif, dalam arti seperti yang seringkali dipandang orang berkaitan dengan kreativitias seni. Sebagai seorang guru, kreativitas begitu penting, karena melaluinya, guru dapat membuat dan mengadakan berbagai pembelajaran yang kreatif, menarik dan inspiratif untuk bisa menarik perhatian para muridnya. Sayang sekali, saya bukan tipe yang bisa banyak memikirkan ide-ide kreatif di dalam kelas. Bisa dibilang, cara mengajar saya cukup monoton. Namun, dalam kemonotonan itu lah saya menemukan diri saya sendiri. Saya menemukan karakteristik dan keunikan diri saya. Saya menjadi pribadi yang kreatif dengan standar saya sendiri.

Orang-orang yang mengenal saya tidak akan menemukan saya bisa membuat atau mengadakan permainan yang menarik dan menyenangkan, atau media belajar yang baik dan menarik. Namun, saya bisa kreatif dalam memberikan pertanyaan, sesuatu yang juga tidak dimiliki banyak orang. Saya menyadari bahwa itulah kekuatan saya. Bertanya. Membosankan? Ya, mungkin. Namun, itulah cara saya belajar dan itu juga yang menjadi cara unik saya untuk mendidik orang lain.

Selain itu, saya seseorang yang bisa mudah kuatir dalam merencanakan masa depan. Kelemahan ini terutama nampak setelah saya menikah. Seperti yang kita ketahui, perencanaan keuangan setelah menikah menjadi bagian dan keterampilan penting yang tak terpisahkan dalam kehidupan rumah tangga. Selama hidup sendiri, saat sebelum menikah, saya terbiasa untuk menyimpan uang saya dan tidak terlalu menggunakannya untuk kepentingan hiburan atau hal lainnya. Namun, tentu berbeda ceritanya ketika sudah menikah. Saya harus menyesuaikan gaya hidup saya dengan gaya hidup istri. Kebutuhannya, kebutuhan masa depan dalam perencanaan kepemilikan rumah dan/atau anak juga harus menjadi aspek yang dipikirkan. Sebagai suami dan calon ayah, tentunya hal-hal itu juga saya pikirkan, dan ada kalanya saya menjadi kuatir. Apakah kami akan cukup memiliki uang untuk itu semua? Apakah saya akan bisa menyediakan kehidupan yang baik?

Di dalam kelemahan itu, saya menemukan bahwa karena saya lebih condong untuk menyimpan uang (tidak menggunakannya dengan percuma), dan kekuatiran saya justru mendorong saya untuk berhemat, lebih menyimpan dan menginvestasikan uang saya dengan tingkat resiko yang moderat. Dampaknya, ternyata kami mempunyai uang lebih banyak dari yang kami bayangkan sebelumnya.

Dari beberapa pengalaman saya di dalam kehidupan pekerjaan dan rumah tangga belakangan ini, saya semakin menyadari bahwa kelemahan bukanlah sesuatu hal yang seharusnya dipandang negatif. Justru, melaluinya, kita bisa belajar menemukan diri kita dengan lebih utuh.

  • Kurang pandai bicara di depan umum, mungkin menjadi kesempatan bagi kita mempersiapkan diri dengan baik ketika akan presentasi
  • Terlalu diam (atau mungkin introvert) mungkin menjadi kesempatan bagi kita untuk mengobservasi situasi dan memikirkan apa yang kita mau bicarakan terlebih dahulu dengan matang
  • Kurang pandai dalam sesuatu hal mungkin membuat kita menjadi lebih mudah berempati dan menghargai orang lain

Kita bisa menambahkan poin-poin lainnya lagi. Intinya, bahwa kita bisa menjadi manusia yang lebih utuh dan menemukan kekuatan kita di dalam kelemahan kita. Karena itu, bahkan mungkin kita bisa mengatakan bahwa kelemahan kita pun adalah kekuatan kita. Sebaliknya, kekuatan kita bisa juga menjadi kelemahan kita.

Jadi, apa kelemahan Anda? Apa kekuatan Anda? Selamat bergumul, selamat menemukan diri.

Siapa kamu?

Dalam beberapa minggu terakhir ini, banyak anak-anak sekolah mengikuti ujian atau ulangan akhir semester di sekolah mereka masing-masing. Demikian juga di sekolah tempat saya mengajar. Menurut pimpinan di sekolah saya, dalam salah satu diskusi kami, ditemukan banyak murid sekolah yang melakukan kecurangan ujian akhir semester ini.

Apa yang pertama kali muncul dalam benak atau perasaan begitu kita mengetahui ini? Kesal? Heran? Sedih? Kecewa?

Apapun itu, itulah reaksi pertama kita ketika mengetahui informasi tersebut. Lalu apa respons kita? Tunggu sebentar. Memang apa bedanya reaksi dan respons? Walau nampak mirip, reaksi terkait dengan tanggapan impulsif atau tindakan yang muncul dengan tiba-tiba berdasarkan impuls. Di sisi lain, respons adalah tindakan yang telah melalui pemikiran atau pertimbangan terlebih dahulu.

Reaksi kita menunjukkan siapa diri kita sesungguhnya. Apa yang kita yakin, apa nilai yang kita pegang, apa yang kita hidupi, dan seterusnya.

Tim Ferriss Quote: “Money doesn't change you; it reveals who you are when  you no longer have to be nice.” (20 wallpapers) - Quotefancy

Berkaca dari kasus di atas, tentunya kita bisa saja kecewa atau marah pada murid-murid tersebut. Saya pun sedih dan kecewa ketika mengetahui murid saya berbuat curang di saat ujian. Namun, satu hal yang saya sampaikan kepada mereka, yaitu adalah apa yang mereka lakukan itu menunjukkan betapa rendahnya atau tingginya mereka. Siapa diri mereka, khususnya ketika mereka berada dalam tekanan.

Uang, tekanan, kekuasaan, tahta, dan lainnya sangat dapat digunakan untuk menunjukkan karakter dan identitas diri seseorang. Artinya, respons dan reaksi kita terhadap sesuatu yang kita miliki atau kita hadapi akan menunjukkan siapa diri kita sesungguhnya.

Quotes by Michelle Obama that pay a fitting tribute to her powerful persona  - Random - OneHallyu

Murid-murid yang berbuat curang itu bisa saja berkilah dengan berbagai alasan, misalnya:

  • “Karena ada kesempatannya”
  • “Tidak ada yang melihat”
  • “Karena saya tidak bisa mengerjakan soalnya”
  • “Teman-teman juga melakukannya”

Apapun alasan yang mereka buat untuk membenarkan/menjustifikasi perbuatan mereka, itu hanya semakin menunjukkan kualitas karakter dan diri seseorang sesungguhnya. Demikian juga kita ketika kita melakukan sesuatu, entah benar atau salah, dalam kondisi tertentu. “Saya terpaksa korupsi karena semua orang melakukannya”, “Saya tidak punya pilihan lain”, “Soalnya semua orang menekan saya”, dan berbagai alasan lainnya.

Sebagai makhluk sosial, kita tentunya kita tidak terlepas dari kehidupan dengan orang lain. Demikian juga dalam hal ini, Ketika ada seseorang melakukan tindakan ini, paling tidak ada 2 hal yang kita bisa ketahui:

  • Kualitas diri atau karakter orang yang melakukannya
  • Kualitas diri atau karakter orang lain yang merespons terhadap orang tersebut
How You Perceive Others Reveals Who You Are

Pertanyaannya bagi kita saat ini, tindakan apa yang kita berikan ketika kita berada dalam tekanan atau dalam kejayaan? Apa yang kita lakukan ketika kita melihat orang lain melakukan tindakan yang benar atau yang salah? Kita bertanggungjawab dan hanya bertanggungjawab atas apa yang kita bisa kontrol, yaitu diri kita sendiri. Sejauh mana sebagai individu, pendidik, dan bagian masyarakat menyadari dan mengajarkan hal ini?

Selamat merenung. Selamat belajar.

Berteman dengan Sang Raja

Menurut Anda, apa hal yang tersulit untuk dilakukan dalam meraih kesuksesan terhadap sesuatu? Kesuksesan di sini bukan berarti kesuksesan berupa materi atau finansial. Pikirkanlah contoh atau konteks apapun. Karier, relasi, pendidikan, membaca, olahraga, ….

Bisa saja ada banyak jawaban tergantung pada perspektif, pengetahuan, dan pengalaman kita. Melakukan yang tepat atau benar? Mengambil resiko? Membuat keputusan? Tepat waktu? Tentunya masih ada banyak lagi kemungkinannya karena setiap orang mempunyai pengalaman dan tantangan yang berbeda tergantung karakter, kepribadian, dan lingkungan tempat mereka berada.

Bagi saya pribadi, hal tersulit untuk dilakukan adalah menjadi konsisten. Ya, konsisten. Melakukan hal yang benar pertama kali tentu tidak mudah. Namun, melakukan hal yang benar berulang kali, dalam berbagai situasi, ketika diperhadapkan dengan berbagai tantangan, mungkin kita belum tentu tahan. Bisa jadi, ada saatnya kita menyerah. Contohnya saya, dalam menulis artikel di blog saya ini. Kalau kita melihat tulisan terakhir yang saya post, itu adalah post di tanggal 29 Agustus, sekitar 1,5 bulan yang lalu.

Bukan hanya soal tulisan/artikel di blog ini saja. Tulisan-tulisan tersebut adalah tulisan-tulisan terkait dengan apa yang saya pelajari dan saya coba terapkan dalam pengajaran matematika di setiap kelas saya. Betapa sulitnya menjadi konsisten untuk melakukannya setiap hari karena banyaknya tantangan yang ada. Murid yang kurang responsif/aktif, antusiasme yang berkurang, pembelajaran daring (online), kelelahan mental, target dan tenggat waktu, kesibukan, target skor, kenyamanan terhadap cara konvensional/tradisional.

Quotes about Consistency (409 quotes)

Oleh karena itu, menyambung dari apa yang saya bagikan tentang bagaimana mengajarkan matematika dengan baik, ada satu hal penting yang saya ingin bagikan dan tekankan di sini. Konsistensi. Sebagai guru yang mengalami pendidikan model lama/tradisional, tidak mudah tentunya untuk kita berubah. Namun, hidup juga tidak bertambah baik jika kita tidak berusaha berubah. Kita perlu berusaha. Berusaha berubah, dan membiasakan diri dan konsisten dengan setiap usaha kita.

Apakah mudah melatih diri untuk terus bertanya dan mewujudkan kondisi diskusi kepada peserta didik kita? Tentu tidak. Lebih mudah untuk memberi tahu saja. Lebih mudah, lebih cepat, tugas selesai.

Apakah mudah berubah untuk mendorong anak menggunakan berbagai perspektif dan cara dalam menyelesaikan satu masalah/soal? Tentu tidak. Jauh lebih mudah mengajarkan satu metode/cara dan meminta mereka menerima dan memahaminya.

Apakah mudah mengajarkan matematika untuk memahami dan berpikir? Tentu tidak. Jauh lebih mudah meminta dan memaksa mereka menghafalkan setiap rumus dan melakukan drilling (Latihan berulang) soal-soal matematika sampai mereka bisa mendapat skor yang baik.

Being consistent isn't easy, but always worth it | Hard work quotes, Work  quotes, Work hard

Melakukan satu hal yang benar memang sulit tetapi mungkin. Melakukannya berulang kali? Tunggu dulu. Hidup tidak semudah itu. Sama seperti betapa sulitnya melakukan hal yang baik dan benar Ketika kita berulang kali dikecewakan, berulang kali jatuh.

Karena itu, melalui tulisan ini, saya ingin mengajak kita semua, khususnya para pendidik (khususnya di bidang matematika) dan orang tua untuk mari kita terus berusaha konsisten. Berusaha mengubah kebiasaan buruk kita satu persatu dalam mendidik anak kita, dan konsisten dengannya. Hal besar tidak pernah muncul dari usaha mudah. Hal-hal dan kesuksesan besar muncul dari usaha konsisten dalam hal-hal atau perkara kecil dan sederhana. Menggapai kesukesan besar membutuhkan waktu dan konsistensi.

“Konsistensi adalah raja. Consistency is king.

Consistency is King

Selamat menjadi konsisten. Selamat menghadapi rasa lelah dan kecewa. Selamat berjuang.

Coba cek kembali

Apa hal-hal paling menyebalkan dari mengajar/mendidik seorang anak/murid? Mari kita menjadi manusia biasa dan menuliskan “keluhan” jujur kita.

  • Malas
  • Buruk dalam mengatur waktu
  • Sulit atau lambat memahami
  • Tidak disiplin
  • Kurang banyak berpikir
  • Pikiran tidak terstruktur
  • Kurang berpikir mendalam
  • Tidak mencatat

Tentunya bisa saja kita menyebutkan banyak hal lainnya dengan lebih detil. Namun, bagi saya pribadi, saya sangat terganggu ketika anak kurang berpikir dengan cukup matang dan mendalam. Sebagai seseorang yang menikmati belajar dan berpikir, tentunya hal ini cukup mengganggu karena saya berharap anak-anak murid saya bisa menikmati belajar dan berpikir mendalam, atau paling tidak mereka mau belajar untuk itu.

Namun, demikian sulitnya pula ketika mendidik anak-anak untuk berpikir dalam matematika. Mungkin karena kebiasaan atau entah mengapa, ketika melihat soal matematika, mereka maunya cepat saja menjawab. Dan kita tahu akhirnya.. salah jawabannya. Jika kemudian diberitahu kesalahannya dan saran untuk mengubahnya, dilakukan lagi hal yang sama.

Hal ini terus berulang kali saya alami selama menjadi guru matematika. Karena itu, saya terus memikirkan dan mencari tahu cara untuk mendidik dengan lebih efektif agar anak-anak bisa menyelesaikan soal-soal matematika dengan lebih baik.

Tentunya, masalah konten dan keterampilan matematika menjadi kunci penting juga. Itu tidak terhindarkan. Kalau kita tidak memahami konsep matematika, ya jelas kita tidak bisa menyelesaikan soal-soalnya. Namun, hal yang saya mau lebih tekankan adalah mengenai proses berpikir.

Hal ini pun berlaku bagi anak-anak yang biasanya secara kemampuan cukup baik, tetapi kurang berhasil dalam menyelesaikan soal. Sekali lagi, mereka lebih suka terburu-buru melihat pertanyaan akhir dan mengerjakannya tanpa ada proses berpikir yang terstruktur dan tepat.

Coba perhatikan contoh-contoh berikut.

  1. John mempunyai beberapa permen. Setelah ia memberikan 8 permen kepada Pei Ling, mereka mempunyai banyak permen yang sama. Berapa banyak permen yang dimiliki John mula-mula? Anggap m adalah banyaknya permen Pei Ling mula-mula.
    (a) m
    (b) m+4
    (c) m+8
    (d)m+16

Kalau anak terburu-buru, mereka bisa saja langsung menjawab pilihan (c) m+8. Namun, apakah tepat? Bagaimana cara berpikirnya?

  1. Baca dan pikirkan dengan baik (baca setiap kalimat dengan baik)

IMG_1633

  1. Visualisasikan informasinya
    IMG_1634
  2. Diskusikan dengan orang lain atau cari sumber informasi lain (jika memungkinkan)
    Lakukan jika memang memungkinkan, mencari sumber informasi tambahan untuk menolong kita memahami soal tersebut.
  3. Estimasi jawaban
    IMG_1633
    Karena itu, sudah pasti banyaknya permen John adalah (m + …), di mana pilihan jawaban (a) pasti tidak tepat.

  4. Gunakan model matematika
    IMG_1635

  5. Evaluasi apakah masuk akal atau tidak
    Membandingkan jawaban kita dengan estimasi sebelumnya, dan melihat kembali cara yang kita gunakan, kita mencoba menganalisa kembali apakah keseluruhan jawaban kita masuk akal (make sense) atau tidak.

 

Mari perhatikan contoh lainnya:

  1. John mempunyai sejumlah uang. Ia menggunakan sebanyak 3/7 bagian untuk di hari Sabtu. Ia menggunakan 5/6 bagian dari sisa uangnya di hari Minggu. John menggunakan $42 lebih banyak pada hari Minggu daripada di hari Sabtu. Berapa banyak uang yang John miliki pada awalnya?

Proses berpikir

  1. Baca dan pikirkan dengan baik (baca setiap kalimat dengan baik)
    IMG_1640

  2. Visualisasikan informasinya
    IMG_1636
    IMG_1637


  3. Diskusikan dengan orang lain atau cari sumber informasi lain (jika memungkinkan)
    Lakukan jika memang memungkinkan, mencari sumber informasi tambahan untuk menolong kita memahami soal tersebut.
  4. Estimasi jawaban
    IMG_1641

  5. Gunakan model matematika
    IMG_1638
    IMG_1639

  6. Evaluasi apakah masuk akal atau tidak
    Membandingkan jawaban kita dengan estimasi sebelumnya, dan melihat kembali cara yang kita gunakan, kita mencoba menganalisa kembali apakah keseluruhan jawaban kita masuk akal (make sense) atau tidak.

 

Jo Boaler, seorang profesor di bidang matematika dari Stanford university, mengatakan bahwa sangat penting bagi kita untuk mengajarkan proses dan cara berpikir kepada anak, dengan memberikan dan memodelkan langkah-langkah seperti di atas. Ke-6 proses tersebut juga diusulkan olehnya.

Walau begitu, apakah tetap mudah mengajarkan anak mengerjakan soal dengan baik? Tentu tidak semudah membali telapak tangan. Tetap perlu ada perjuangan mengingatkan dan memodelkan secara konsisten, dan anak pun perlu berlatih dengan konsisten.

Yuk, mari kita lebih banyak memfasilitasi anak murid kita untuk berlatih berpikir dengan konsisten dan menggunakan cara-cara yang terstruktur. Dengannya, mereka pun akan lebih terbiasa dan terlatih untuk menggunakannya. Pada awalnya mungkin akan terasa lambat dan membosankan dan tidak berarti. Namun, ketika sudah terbiasa mereka akan otomatis melakukannya dan semua akan berjalan lebih cepat.

Semangat belajar! 😊

Dunia matematika, dunia kita?

Silvia membeli kue coklat sebanyak 100 buah. Ia ingin membagi-bagikannya kepada kelima orang temannya. Berapakah jumlah kue coklat yang diperoleh masing-masing teman Silvia?

Bu Lia membeli 72 apel, 108 jeruk, dan 84 pisang. Ia berencana membagikannya kepada sebanyak mungkin orang di mana setiap orang mendapatkan apel, jeruk, dan pisang yang sama. Berapa banyak orang yang mendapatkannya? Berapa banyak masing-masing apel, jeruk, dan pisang yang diperoleh?

Pertanyaan semacam ini pasti pernah kita dengar atau kerjakan bukan? Pertanyaan yang tidak asing bagi kita. Bahkan, mungkin ketika kita membacanya, kita sudah langsung terpikirkan cara menjawabnya, karena itu begitu otomatis terjadi di pikiran kita.

Continue reading “Dunia matematika, dunia kita?”

Sepatumu, Sepatuku

“Put yourself in my shoes”

Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar atau menggunakan istilah/idiom Bahasa Inggris tersebut ketika kita berelasi dengan orang lain. Apa maknanya? Idiom ini berarti bahwa kita meminta orang lain untuk menempatkan diri pada kondisi atau keadaan yang sedang kita alami atau rasakan agar orang tersebut dapat mengerti, memahami, atau berempati terhadap perspektif, pendapat, atau cara pandang kita.

Continue reading “Sepatumu, Sepatuku”

Mengapa begini, mengapa begitu?

“Mengapa bumi itu bulat?”

“Mengapa kita perlu belajar”

“Mengapa aku tidak boleh makan coklat?”

Anak kecil, mungkin sangat erat dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Jika kita mempunyai, mengajar, atau mengenal seorang anak kecil, sangat lumrah bahwa mereka menanyakan banyak hal seperti pertanyaan-pertanyaan di atas. Hal ini merupakan hal alamiah karena mereka ingin tahu akan banyak hal dan berusaha melakukan penalaran terhadap hal-hal yang ada di dalam hidupnya.

Continue reading “Mengapa begini, mengapa begitu?”