Pecat saja!

Dalam keadaan ekonomi sulit dan perusahaan membutuhkan pengurangan pengeluaran, biasanya yang jadi korban adalah pegawai, terlebih lagi pegawai yang performanya kurang baik.

Coba bayangkan jika kita berada di posisi tersebut.

Sudah? Apa yang dirasakan?

Lalu, coba bayangkan jika kita berada di posisi karyawan yang tidak dipecat (atau halusnya, meminta karyawan mengundurkan diri), tetapi mengetahui teman atau rekan kerja kita mengalaminya.

Sudah? Apa yang dirasakan?

Kalau dipikir, memang pengurangan pegawai semacam ini adalah sesuatu yang wajar, karena memang selama ini sudah menjadi hal yang biasa untuk dilakukan. Atau, jika ada pegawai dengan performa yang kurang baik, kita bisa dengan mudah memecat atau meminta mereka untuk mengundurkan diri.

Pertanyaannya, kalau dengan mudah kita memecat atau meminta mereka mengundurkan diri, apakah kita sudah berempati dan berusaha mengembangkan mereka agar berubah dan menjadi lebih baik? Kalau kita dengan mudah melakukannya, mengapa kita menerima mereka bekerja di tempat kita sejak awal?

Bukan dalam arti saya anti terhadap pemecatan, tetapi paling tidak kita bisa melihat kembali keputusan/kebijakan itu, dan sejauh mana kita telah menolong mereka yang kinerjanya kurang baik, membangun kapasitas mereka. Kalau memang kita telah melakukan segala hal dengan maksimal, dan tidak ada perubahan, maka pemecatan bisa dilakukan sebagai langkah terakhir. Bukan sebagai jalan pintas.

Kalau perusahaan menghadapi kesulitan ekonomi, kita bisa melakukan seperti apa yang sebuah keluarga lakukan, berhemat bersama-sama tanpa ada satupun anggota keluarga yang harus “dipecat”.

Mari berubah, untuk lingkungan kerja yang lebih positif dan aman.